
SEORANG wanita paruh baya melaporkan melaporkan PT Widya Dharma Sidhi (PT WDS) yang berkedudukan di Jalan Mahendradatta Utara Nomor 2, Tegal Kerta, Kecamatan Denpasar Barat, Kota Denpasar, Bali.
Pelapor adalah Rohani Martha Butarbutar, kelahiran Jakarta. Laporan dilakukan ke Polresta Denpasar dengan nomor registrasi: DUMAS/160/V/2025/SPKT/POLRESTA DPS/POLDA BALI tertanggal 12 Mei 2025.
Korban Rohani Martha Butarbutar melaporkan dugaan penipuan dan atau penggelapan dengan teradu Gde Agus Wardhana dari Kantor PT WDS.
Saat dikonfirmasi di Denpasar, Rabu (14/5) wanita yang biasa dipanggil Martha tersebut menjelaskan, perkenalan awal dengan teradu Gde Agus Wardhana melalui istri Gde Agus bernama Ayu Egawati.
Saat itu korban masih bekerja sebagai guru tidak tetap di beberapa sekolah internasional di Bali. Setelah pandemi covid-19, korban pulang ke Jakarta. Namun, setelah pandemi covid-19 usai, atas penjelasan Ayu Egawati, korban kembali ke Bali dan diimingi bekerja di Inggris.
Awalnya korban diminta hanya membayar uang administrasi sebesar Rp200 ribu. Setelah mendapatkan penjelasan langsung dari teradu Gde Agus Wardhana, korban akhirnya membayarkan biaya secara keseluruhan sebesar Rp47 juta dan dibayar secara bertahap.
"Uang sebesar Rp47 juta lebih tersebut, ada yang ditransfer ke STIKOM Bali dan ada uang ditransfer ke rekening PT WDS yang dikendalikan oleh teradu Gde Agus Wardhana. Saya masih menyimpan bukti transfer ke rekening STIKOM Bali dengan beberapa kali transaksi mulai dari Rp2 juta, Rp5 juta, hingga Rp15 juta dan sisanya ke rekening teradu Gde Agus Wardhana. Jumlah keseluruhan mencapai Rp47 juta lebih," ujarnya.
Ia menjelaskan, dalam surat perjanjian yang dilakukan yang dilakukan antara dirinya dengan PT WDS, ITB STIKOM Bali, pada poin 5 isinya adalah bila dalam kurun waktu 12 bulan atau 1 tahun belum diberangkatkan ke luar negeri yakni ke Inggris, maka seluruh pembayaran akan dikembalikan secara utuh. Artinya, uang korban sejumlah Rp 47 juta lebih seharusnya sudah dikembalikan sesuai dengan perjanjian yang ada.
"Saya sudah bersabar selama 26 bulan. Artinya sudah lebih dari 2 tahun. Seharusnya sesuai perjanjian uang saya sudah dikembalikan. Namun setelah sekian kali bertanya baik ke STIKOM Bali maupun ke PT WDS, tidak ada penjelasan yang masuk akal. Saya menduga jika kami sudah dibohongi oleh PT WDS dan STIKOM Bali," ujarnya.
Ia menjelaskan jika jumlah anggota yang direkrut satu angkatan dengan korban sebanyak 45 orang. Setiap anggota membayar dengan jumlah yang bervariasi mulai dari Rp45 juta hingga Rp 5 juta. Jadi bila dihitung semuanya, total kerugian bisa mencapai lebih dari Rp2 miliar. Dari jumlah tersebut, baru diberangkatkan 2 orang. Sehingga masih ada 43 orang yang statusnya tidak jelas hingga saat ini.
Seluruh korban tergabung dalam grup WhatsApp sehingga bisa saling tukar informasi. Namun bila ada anggota yang terlalu mempertanyakan kejelasan keberangkatan ke luar negeri, maka admin akan membentuk grup WhatsApp yang baru tanpa anggota yang dinilai terlalu kritis tersebut.
Bahkan saat ini sudah ada tiga grup WhatsApp yang dibentuk, namun admin lupa bahwa di antara anggota grup masih saling memberikan informasi.
"Kami sudah berkoordinasi dan berkomunikasi. Baru saya dan teman bernama Yusup yang lapor ke Polresta Denpasar. Sementara yang lainnya akan menyusul. Namun banyak juga yang sudah tidak mau repot-repot lagi dengan kerugian yang dialami karena mereka sibuk bekerja untuk bisa membeli makan sehari-hari. Ada beberapa teman asal Jakarta dan Bandung terpaksa harus bekerja serabutan di Bali karena lama menunggu dan terkatung-katung sehingga untuk bisa makan mereka harus bekerja apa saja di Bali," ujarnya.
Para korban sangat yakin bahwa STIKOM Bali diduga kuat terlibat. Sebab banyak kop surat perjanjian dan dokumen lainnya ada tertulis logo STIKOM Bali. Bukti lain adalah transfer uang juga ke rekening atas nama STIKOM Bali.
"Bahkan banyak dari kami yang diberikan nomor induk mahasiswa (NIM) walaupun kami tidak pernah kuliah di STIKOM Bali," ujarnya.
Karena merasa STIKOM Bali diduga terlibat, beberapa korban mencoba berinisiatif untuk bertemu Rektor STIKOM Bali DR. H. Dadang Hermawan. Namun, niat baik tersebut dihalangi pihak sekretariat kampus STIKOM Bali dengan alasan rektor sedang sibuk dan tidak bisa ditemui.
Humas STIKOM Bali Kusnandar saat dikonfirmasi awak media mengaku belum mengetahui secara persis kasus yang diadukan tersebut.
"Saya tidak mengerti itu laporan apa sampai membawa nama STIKOM. Saya sudah cek di internal STIKOM namun semuanya tidak mengerti soal ini," ujarnya.
Kusnandar juga menegaskan bahwa selama ini pihaknya yakni STIKOM Bali hanya mengirim ke Jepang, tidak pernah ke negara lainnya. Sebab STIKOM Bali hanya mengurusi program kerja ke Jepang dan semuanya berjalan sukses setelah melalui pendidikan dan pelatihan. Itu pun baru setahun lebih dan sebagiannya sudah berangkat ke Jepang. Sementara sebagian besar lainnya sedang proses pelatihan dan pendidikan.
"Saya belum bisa memastikan apakah ada kerja sama dengan STIKOM terkait kasus yang dilaporkan ke Polresta Denpasar tersebut. Sebab selama ini yang saya tahu adalah pengiriman ke Jepang. Namun mohon bersabar saya akan mengecek kebenaran di STIKOM Bali," ujarnya. (OL/E-4)