
KETUA Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Mochammad Afifuddin menjelaskan bahwa rencana revisi Undang-Undang Pemilu dan UU Pilkada harus dilandaskan pada refleksi menyeluruh terhadap pengalaman panjang penyelenggaraan pemilu di Indonesia sejak 1955.
Para pembuat UU bisa menjadikan beragam sistem dan desain kepemiluan yang telah dilalui selama ini menjadi pijakan penting dalam memperbaiki regulasi kepemiluan ke depan.
“Berangkat dari pengalaman melaksanakan pemilu dengan aneka ragam sistem dan desain, kita punya banyak hal yang bisa jadi pelajaran untuk memperbaiki pemilu dan pilkada ke depan,” ujar Afifuddin dalam keterangannya di Jakarta, Rabu (14/5).
Menurut Afif, refleksi ini penting untuk menyusun regulasi yang adaptif, inklusif, dan sesuai dengan dinamika sosial-politik masyarakat.
SelaIn itu, ia juga mencontohkan salah satu hal krusial yang perlu menjadi pertimbangkan dalam revisi adalah jeda waktu antara pelaksanaan pemilu dan pilkada, khususnya pada 2024.
Afid menilai, Pemilu dan Pilkada 2024 menunjukkan betapa beratnya beban penyelenggara ketika tahapan pemilu dan pilkada berhimpitan. “Idealnya ada jeda 1,5 tahun sampai 2 tahun supaya kami bisa fokus menjalankan setiap tahapan,” katanya.
Selain itu, Afifuddin menekankan perlunya pembahasan mengenai desain kelembagaan penyelenggara, sistem pemilu, hingga metode pemilihan guna mempermudah teknis di lapangan.
Lebih jauh. Ia juga menyinggung potensi pemanfaatan teknologi dalam pemilu atau e-voting. Akan tetapi, hal tersebut memerlukan persiapan jangka panjang dan dasar hukum yang kuat. “Kalau ada usulan digitalisasi, harus ada kepastian hukumnya supaya KPU tidak terombang-ambing,” pungkasnya. (Dev/P-2)