
DIREKTUR Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengatakan pengarahan prajurit TNI untuk melakukan pengamanan terhadap institusi Kejaksaan di seluruh Indonesia telah menyalahi aturan. Menurutnya, tugas dan fungsi TNI harus berfokus pada aspek pertahanan dan tak masuk ke ranah penegakan hukum sipil.
“Militer di negara-negara yang maju itu tempatnya di barat dan jauh dari pusat kegiatan pemerintahan sipil, proses peradilan maupun masyarakat. Tidak boleh ada penyatuan militer pada ranah sipil, kecuali di negara otoriter atau di negara junta militer,” kata Usman dalam diskusi Publik Amnesty International Indonesia: Realita HAM Global dan Situasi di Indonesia Setelah 27 Tahun Reformasi di UNIKA Atma Jaya pada Rabu (14/5).
Menurut Usman, pengerahan militer ke berbagai sektor sipil mulai dari pendidikan hingga penegakan hukum justru bertentangan dengan stabilitas negara. Menurutnya, fenomena masuknya militer ke ranah sipil justru menunjukkan adanya keadaan darurat di suatu wilayah.
“Kalau militer dikerahkan untuk mengamankan instansi-instansi sipil, itu hanya terjadi di bawah pemerintahan dalam keadaan darurat, baik darurat perang, darurat militer, atau darurat sipil. Jadi itu dampaknya serius terhadap peningkatan hukum di Kejaksaan dan artinya Kejaksaan tidak mandiri lagi,” jelasnya.
Usman memandang bahwa surat perintah ini berpotensi mempengaruhi independensi penegakan hukum di Indonesia. Terlebih lagi, saat ini Kejaksaan Agung juga tengah mengusut beberapa kasus korupsi yang melibatkan personel militer.
“Jelas ini akan berdampak negatif pada kemandirian penegakan hukum. Dan ini juga menunjukkan adanya gesekan antar institusi penegakan hukum dan bisa jadi jaksa agung ada indikasi menyimpang dalam menangani beberapa kasus,” jelasnya.
Atas dasar itu, Usman mendorong agar Kemenko Polkam memanggil TNI dan Polri serta Jaksa Agung agar menjelaskan urgensi dari pengerahan militer tersebut. Selain itu, Kemenko Polkam juga diminta memanggil Panglima TNI dan KASAD untuk memberikan penjelasan atas pelanggaran tugas pokok dan fungsi TNI.
Akan tetapi, jika pembahasan di tingkat pemerintah tak menemukan jalan keluar, ia menyarankan agar DPR RI segera memanggil Kejaksaan untuk meminta penjelasan dan keterangan terkait kerjasama antara Panglima TNI dan Kejaksaan yang dinilai sangat tidak proporsional.
“Jadi saya kira indikasi itu yang harus dikoreksi oleh Komisi Kejaksaan sebagai pengawas dan mendesak Komisi III DPR untuk memanggil kejaksaan. Kenapa sampai meminta Panglima TNI menggerakkan personel?,” imbuhnya.
Selain itu, Usman juga mendesak agar Komisi I DPR turut memanggil Panglima TNI untuk meminta penjelasan terkait urgensi dan signifikansi penggerakan personel di kejaksaan.
“TNI akan menjagai seluruh kejaksaan negeri. Artinya, kalau di seluruh kejaksaan negeri dijaga TNI, berarti di seluruh kota ada militer yang menandakan ini keadaan darurat. Itu yang harus dipertanyakan,” katanya.
Menurut Usman, jika alasan terkait pengamanan Kejaksaan oleh Militer disebabkan oleh adanya kendala normatif yang menyangkut pada aturan perundang-undangan, maka DPR harus mengkaji kembali beberapa aturan tertentu mengenai Kejaksaan, TNI dan Kepolisian.
“TNI dan Kejaksaan harus bisa menjelaskannya apakah pengamanan rutin ini memiliki jangka waktu yang terbatas dan bersifat ad-hoc, karena kalau permanent berarti ada kedaruratan, dan mengapa kejaksaan tidak menggunakan tenaga kepolisian. DPR bisa membuat pansus untuk menyelidiki ketegangan yang terjadi antar Kejaksaan, TNI dan Polri,” katanya. (Dev).