
Industri padat karya merupakan sektor kunci dalam penyerapan tenaga kerja dan penopang perekonomian nasional. Sayangnya, sektor tersebut kini kurang mendapat perhatian hingga menyebabkan penurunan kontribusi.
“Kontribusinya memang terus mengalami penurunan. Sekarang hanya kisaran 18-19% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), atau terjadi deindustrialisasi prematur,” ujar Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira dilansir dari keterangan resmi, Rabu (14/5).
Untuk memastikan perannya optimal dalam keberlanjutan penyerapan tenaga kerja di Indonesia, langkah strategis untuk memastikan industri padat karya tetap bertumbuh menjadi sangat penting. Bhima menyarankan pemerintah memperhatikan keberlangsungan sektor-sektor yang selama ini telah menjadi tulang punggung ekonomi Indonesia. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengkaji regulasi yang mengancam keberlangsungan industri.
“Pemerintah juga harus prioritaskan menyelamatkan industri existing, jangan hanya menarik investasi baru yang belum pasti kapan berproduksinya. Lebih baik mencegah industri existing makin menyusut,” tegasnya.
“Dengan serapan tenaga kerja yang sangat besar ini, kalau industrinya kemudian melemah, efeknya juga ke total serapan tenaga kerja, makanya terjadi PHK secara terus menerus,” imbuh Bhima.
Pemerintah telah menerbitkan paket stimulus ekonomi untuk memperbaiki kondisi industri yang lesu. Serangkaian kebijakan ekonomi diterapkan, termasuk memberikan insentif Pajak Penghasilan (PPh) Nomor 21 bagi 56 golongan pekerja padat karya, subsidi bunga 5% untuk revitalisasi mesin, dan juga bantuan jaminan kecelakaan kerja.
Terkait kebijakan insentif PPh 21 bagi pekerja padat karya, Bhima berpendapat bahwa kebijakan tersebut perlu dikembangkan lebih lanjut. Selain memperluas sektor pekerja penerima insentif, ia juga merekomendasikan agar dibuat kebijakan insentif untuk meringankan beban industri, seperti diskon tarif listrik khusus untuk industri padat karya.
“Selama ini belanja pajak untuk insentif itu sekitar Rp400 triliun per tahun tapi banyak yang tidak tepat sasaran. Jadi, ketika pemerintah ingin menyelamatkan industri, geserlah itu insentif-insentif ke industri yang sifatnya padat karya,” ucapnya.
Sependapat dengan Bhima, pakar kebijakan publik UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat menyambut positif kebijakan insentif PPh 21 sebagai upaya untuk mendongkrak daya beli masyarakat kelas pekerja.
“Rata-rata mereka ini kan kategori gajinya UMR ya, sehingga mereka dibebaskan, katakanlah, 5% dari gaji mereka. 5% itu bisa langsung menjadi konsumsi dan akhirnya bisa meningkatkan pertumbuhan ekonomi,” ujarnya.
Achmad juga menyoroti tren melemahnya sektor padat karya. Menurutnya, fenomena ini adalah hal mendesak yang dapat mengganggu keamanan masyarakat dan menghambat pertumbuhan ekonomi.
“Karena dengan adanya banyak PHK, saya sendiri selama enam bulan menghitung hampir 80 ribu pekerja formal dipulangkan. Yang smart itu artinya membuka lapangan pekerjaan yang sebanyak-banyaknya,” tegasnya.
Menanggapi tren pelemahan di sektor padat karya, Presiden Prabowo Subianto secara langsung menginstruksikan prioritas pada proyek hilirisasi yang menciptakan efek berganda (multiplier effect), terutama yang berkontribusi pada pembukaan lapangan kerja. Presiden Prabowo mendorong program-program padat karya diintegrasikan ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) untuk mempermudah perizinan dan pemberian insentif. Untuk menjaga daya saing, pemerintah menyiapkan paket revitalisasi mesin produksi, termasuk kredit investasi senilai 20 triliun dengan subsidi bunga 5% selama 8 tahun.
Dukungan terhadap industri padat karya dinilai penting untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Sektor-sektor seperti Tekstil dan Produk Tekstil (TPT), yang menyerap sekitar 4 juta pekerja, serta Industri Hasil Tembakau (IHT), yang melibatkan sekitar 6 juta pekerja dari hulu ke hilir, menjadi contoh nyata betapa vitalnya peran industri padat karya dalam menopang perekonomian. (E-3)