Rahang Misterius dari Taiwan Dikonfirmasi Milik Denisovan, Kerabat Purba Manusia

13 hours ago 4
Rahang Misterius dari Taiwan Dikonfirmasi Milik Denisovan, Kerabat Purba Manusia Peneliti berhasil mengidentifikasi rahang Penghu 1 dari dasar laut Taiwan sebagai milik Denisovan, spesies manusia purba yang misterius.(Yousuke Kaifu)

SEBUAH rahang manusia misterius yang ditemukan di lepas pantai Taiwan awal 2000-an. Rahang itu ternyata milik kerabat manusia purba yang telah punah, yaitu Denisovan. Para peneliti menggunakan teknik mutakhir yang menganalisis protein untuk menentukan spesies pemilik rahang tersebut. 

Pendekatan ini menunjukkan individu tersebut adalah Denisovan, "sepupu" Neanderthal dan manusia modern yang menjelajahi wilayah Asia selama zaman Pleistosen. Penemuan ini membuka pintu untuk mengidentifikasi fosil manusia yang sebelumnya tidak diketahui.

“Teknik yang sama sedang dan akan terus digunakan untuk mempelajari fosil hominin lain guna menentukan apakah mereka juga termasuk Denisovan, Neanderthal, atau populasi hominin lainnya,” ujar Frido Welker, antropolog molekuler dari Universitas Kopenhagen sekaligus rekan penulis studi tersebut.

Welker bersama tim internasional ahli ingin memahami lebih dalam tentang rahang Penghu 1, sebuah spesimen yang ditangkap seorang nelayan dari dasar Selat Penghu, sekitar 25 kilometer dari pantai barat Taiwan. Selama lebih dari satu dekade sejak dokumentasi Penghu 1, para paleoantropolog berselisih pendapat apakah rahang kokoh dengan gigi besar itu milik Homo erectus, Homo sapiens purba, atau Denisovan.

Denisovan adalah kerabat manusia yang telah punah dan hidup sezaman dengan Neanderthal dan Homo sapiens. Namun berbeda dengan Neanderthal, yang fosilnya telah ditemukan di Eropa dan Asia Barat selama lebih dari satu abad. 

Denisovan lebih banyak diketahui dari DNA-nya karena hanya segelintir fosil yang pernah ditemukan, sebagian besar berasal dari Gua Denisova di Siberia. Tanpa banyak koleksi fosil, sulit bagi para ahli untuk mengidentifikasi kerangka Denisovan baru dan mengetahui di mana mereka hidup serta bagaimana hubungan mereka dengan manusia modern.

Dengan menggunakan teknik yang relatif baru bernama paleoproteomik, atau analisis protein kuno, tim peneliti menunjukkan bahwa Penghu 1 adalah laki-laki, dan susunan asam amino serta proteinnya paling mirip dengan Denisovan. Temuan ini dipublikasikan pada 10 April di jurnal Science.

“Delapan atau sembilan tahun lalu, belum memungkinkan untuk memahami makna dari spesimen ini,” ujar Sheela Athreya, antropolog biologi dari Texas A&M University yang tidak terlibat dalam studi ini. “Studi ini mengonfirmasi apa yang selama ini kami duga — ada kehadiran hominin di ujung timur Eurasia sepanjang zaman Pleistosen.”

Teka-teki penanggalan

Namun, studi ini memiliki satu keterbatasan: Penghu 1 tidak dapat ditentukan usianya secara pasti menggunakan metode tradisional seperti penanggalan karbon-14 atau uranium, karena fosil tersebut terlalu lama terendam air. Upaya ekstraksi DNA juga gagal.

Tulang hewan yang ditemukan bersama rahang tersebut menunjukkan dua kemungkinan rentang usia, kata Welker — antara 10.000 hingga 70.000 tahun lalu atau 130.000 hingga 190.000 tahun lalu. “Jika spesimen ini berasal dari rentang usia yang lebih muda, bisa jadi ini adalah fosil Denisovan termuda yang pernah ditemukan,” tambahnya. Saat ini, fosil Denisovan termuda berusia 40.000 tahun dan ditemukan di Dataran Tinggi Tibet.

Meski tanggal pastinya belum pasti, identifikasi Penghu 1 sebagai Denisovan menunjukkan bahwa kelompok ini tersebar luas di Asia, dari wilayah dingin seperti Siberia hingga daerah hangat dan lembap seperti Taiwan.

“Sekarang jelas bahwa dua kelompok hominin yang kontras — Neanderthal bergigi kecil dengan rahang tinggi tapi ramping, dan Denisovan bergigi besar dengan rahang rendah namun kokoh — hidup berdampingan selama akhir Pleistosen Tengah hingga awal Pleistosen Akhir di Eurasia,” tulis para peneliti dalam studi tersebut.

Kesimpulan ini memberi wawasan baru tentang keragaman dan evolusi genus Homo, dan langkah berikutnya dari para peneliti adalah menggunakan paleoproteomik untuk mengidentifikasi lebih banyak fosil purba dari genus ini.

“Yang paling berarti dari pekerjaan ini adalah bahwa kita sekarang bisa melakukan jauh lebih banyak dengan fosil-fosil tanpa konteks sebelumnya yang ditemukan di saluran air dan dasar sungai di Asia,” kata Athreya. “Itu sungguh menggembirakan!” (Live Science/Z-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |