
INDONESIA dinilai berperan penting dalam mendorong perdamaian dan stabilitas di Kamboja pada akhir 1980-an hingga awal 1990-an. Salah satu yang disorot adalah diplomasi “cocktail party” dan penyelenggaraan Jakarta Informal Meetings (JIM).
Diplomasi aktif Indonesia dan upaya multilateralnya menjadi kunci dalam membangun fondasi rekonsiliasi jangka panjang di Kamboja, sekaligus menegaskan peran sentral ASEAN sebagai motor penggerak stabilitas kawasan.
Hal tersebut menjadi pembahasan dalam seminar bertajuk "Peran Indonesia dalam Proses Perdamaian Kamboja" yang digelar ERIA School of Government (SOG) di Jakarta. Seminar ini menjadi bagian dari rangkaian kegiatan menuju ERIA Leadership Lecture yang akan menghadirkan Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, Presiden Senat Kerajaan Kamboja, pada 6 Mei 2025.
Dalam sambutan pembuka, Prof. Nobuhiro Aizawa, Dekan ERIA School of Government, menekankan kontribusi besar Indonesia, khususnya melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI)
"Inisiatif Indonesia dalam proses perdamaian Kamboja merupakan contoh monumental tentang bagaimana diplomasi konstruktif dan kepemimpinan visioner dapat menciptakan stabilitas dan perdamaian di tengah situasi konflik," ujarnya.
Upaya diplomasi Indonesia diawali oleh mendiang Menteri Mochtar Kusumaatmadja, yang memprakarsai pendekatan informal, dan dilanjutkan oleh Menteri Ali Alatas melalui kepemimpinan dalam Jakarta Informal Meetings (JIM), yang menjadi tonggak bersejarah dalam proses perdamaian. Jenderal L.B. Moerdani, selaku Menteri Pertahanan saat itu, turut memainkan peran strategis dengan membangun komunikasi dengan pihak Vietnam dan memperkuat posisi ASEAN melalui diplomasi militer yang terukur.
Seluruh inisiatif diplomatik tersebut menjadi landasan penting bagi terciptanya stabilitas kawasan Asia Tenggara. Prof. Aizawa menegaskan, "Berbeda dengan banyak kawasan lain yang masih menghadapi tantangan sengketa wilayah dan ketegangan geopolitik, Asia Tenggara berhasil membangun stabilitas jangka panjang melalui pendekatan regional kolektif, di mana Indonesia memainkan peran sentral dalam mendorong kolaborasi tersebut."
Seminar ini merupakan bagian dari inisiatif ERIA untuk memperkuat memori institusional Asia Tenggara melalui Leadership Lecture Series. Edisi kedua seri ini akan menghadirkan Samdech Akka Moha Sena Padei Techo Hun Sen, yang dalam pidatonya pada 6 Mei 2025 akan berbagi refleksi tentang kepemimpinannya dalam mewujudkan perdamaian dan rekonsiliasi nasional di Kamboja, di tengah dinamika geopolitik yang kompleks. Pengalaman beliau diharapkan dapat menjadi pembelajaran berharga bagi para pembuat kebijakan, akademisi, dan pemimpin muda di kawasan.
ERIA Leadership Lecture Series sendiri pertama kali diadakan pada 18 September 2024, dengan menghadirkan H.E. Prof. Dr. Susilo Bambang Yudhoyono, Presiden ke-6 Republik Indonesia, sebagai pembicara perdana. Seri ini menjadi wadah diskusi tingkat tinggi mengenai kepemimpinan, pemerintahan, dan kerja sama kawasan di Asia Tenggara, sekaligus memperkaya warisan intelektual dan diplomatik regional.
Melalui seminar hari ini dan ceramah kepemimpinan mendatang, ERIA School of Government menegaskan komitmennya untuk terus memperdalam pemahaman terhadap perjalanan Asia Tenggara menuju perdamaian, stabilitas, dan kerja sama kawasan yang erat.(H-2)