
ATTENTION deficit hyperactivity disorder (ADHD) merupakan gangguan mental yang menyebabkan seorang anak sulit untuk memperhatikan, hiperaktif, dan impulsif. Saat ini, pengetahuan mengenai ADHD tidak hanya diperlukan oleh orangtua, tapi juga guru di sekolah.
Dosen Fakultas Psikologi Universitas Negeri Jakarta (FPsi UNJ) Dewinta Ariani menekankan pentingnya pengetahuan guru mengenai ADHD sebagai langkah awal dalam menciptakan lingkungan belajar yang lebih inklusif dan responsif terhadap kebutuhan peserta didik.
Menurutnya, pemahaman yang memadai akan membantu guru mengenali tanda-tanda ADHD secara lebih tepat dan tidak keliru menganggapnya sebagai bentuk kenakalan atau kurangnya disiplin.
“Ketika guru memiliki pengetahuan yang cukup tentang ADHD, mereka akan lebih siap dalam mengidentifikasi perilaku yang menjadi indikator awal, serta dapat memberikan respon yang sesuai tanpa memberikan label negatif pada anak,” ungkapnya dalam kegiatan Psikoedukasi Optimalisasi Pengetahuan Guru tentang ADHD di SDN Rawamangun 12 Pagi, Jakarta Timur, Kamis (15/5).
Kegiatan ini dihadiri oleh 40 guru dan bertujuan untuk meningkatkan pemahaman serta kemampuan guru dalam mendeteksi dini gejala ADHD pada peserta didik.
Materi yang disampaikan dalam psikoedukasi ini meliputi pengenalan karakteristik anak dengan ADHD, teknik observasi perilaku yang akurat di lingkungan sekolah, hingga strategi deteksi dini yang dapat dilakukan guru.
Selain pemaparan materi secara interaktif, kegiatan ini juga dilengkapi dengan pembagian booklet panduan sederhana yang dirancang khusus untuk membantu guru dalam memahami lebih dalam mengenai ADHD.
Booklet ini berisi informasi padat dan mudah dipahami, mulai dari definisi ADHD, ciri-ciri perilaku yang patut diwaspadai, hingga langkah-langkah praktis dalam membantu guru agar dapat mengelola perilaku siswa ADHD di lingkungan sekolah.
Di dalamnya juga disertakan daftar kontak layanan atau tenaga profesional yang dapat menjadi rujukan apabila guru membutuhkan bantuan lanjutan.
Kehadiran booklet ini diharapkan dapat menjadi pegangan praktis yang dapat digunakan guru dalam keseharian, sehingga pemahaman guru mengenai ADHD dapat terus dikembangkan dan diterapkan secara berkelanjutan dalam mendampingi siswa di sekolah.
Kegiatan ini tidak hanya melibatkan guru, tetapi juga mahasiswa dan tenaga kependidikan Fakultas Psikologi UNJ. Mereka berpartisipasi aktif dalam membantu pelaksanaan, pendampingan kelompok diskusi, hingga dokumentasi kegiatan. Keterlibatan mahasiswa diharapkan dapat menumbuhkan kompetensi praktis dan jiwa pengabdian sejak dini.
“Materi yang diberikan sangat bermanfaat. Kami jadi lebih memahami bagaimana mengenali tanda-tanda awal ADHD di kelas dan bagaimana menyikapinya,” kata salah satu guru peserta.
Tim dosen FPSi UNJ berharap kegiatan ini menjadi langkah awal bagi terciptanya kemitraan yang lebih luas dengan sekolah-sekolah di Jakarta dan sekitarnya untuk meningkatkan kualitas layanan pendidikan dan kesejahteraan psikososial peserta didik. (H-2)