
PELUANG perdagangan karbon di Indonesia masih terbuka luas. Namun, masih banyak tantangan yang perlu diselesaikan Pemerintah Indonesia untuk mempercepat langkah menuju emisi nol (net zero emission).
Beragam tantangan dan peluang itu terungkap dalam seminar daring yang diselenggarakan Departemen Akuntansi FEB UI dan University of Technology Sidney (UTS) dengan didukung Australia Indonesia Institute, Selasa (25/2/2025).
Dalam seminar tersebut, hadir sebagai narasumber yakni Head of Centre for Climate Risk and Resilience UTS Prof. Martina Linnenluecke, Research Fellow Centre for Climate Risk and Resilience UTS Mona Mashhadi Rajabi, serta cendekiawan lingkungan yang juga Wakil Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2019-2024 Alue Dohong. Diskusi dimoderatori Dosen Departemen Akuntansi FEB UI Luluk Widyawati.
Martina menjelaskan pasar karbon adalah mekanisme untuk mendorong dekarbonisasi dengan memfasilitasi perdagangan kredit emisi. Perusahaan bisa membeli kredit karbon sebagai “hak” untuk mengeluarkan sejumlah emisi gas rumah kaca dalam proses produksinya. Satu unit kredit karbon setara dengan penurunan emisi satu ton karbondioksida (CO2) ekuivalen.
Adanya pasar karbon sekaligus mendorong pembangunan berkelanjutan dan memberi insentif pada pengurangan emisi. Selain itu, pasar karbon mendorong investasi pada solusi-solusi berbasis alam seperti penghutanan kembali (reboisasi) dan restorasi lahan gambut.
Penerapan pajak karbon juga melengkapi mekanisme pasar karbon. Sebab, menurut Mona, ini memungkinkan harga produk yang dihasilkan dari proses produksi rendah karbon lebih murah ketimbang harga produk yang dihasilkan dengan proses tinggi emisi karbon. Kebiasaan konsumsi pun akan mulai berubah.
Martina sepakat pajak karbon sangat berperan dalam mendorong dekarbonisasi bila diimplementasikan secara tepat. Selain itu, supaya transisi menuju keberlanjutan bisa dipercepat, maka perlu mekanisme yang saling melengkapi.
Dengan adanya pasar karbon ini, menurut Martina, Indonesia berpeluang untuk menarik investasi hijau dan mendorong transfer teknologi rendah karbon. Di sini, banyak pembangunan berkelanjutan terkait kehutanan, energi baru terbarukan, dan proyek-proyek berbasis masyarakat yang bisa dilakukan.
Selain itu, Indonesia bisa menjadi hub perdagangan karbon di Asia Tenggara. Namun, beberapa tantangan menghambat penerapan pasar karbon di Indonesia. Martina menyebutkan ketidakpastian aturan, integritas pasar, dan infrasruktur menjadi hambatan.
Untuk penerapan pasar karbon dan pajak karbon, Alue Dohong juga menyebutkan beberapa masalah. Setidaknya, masih ada masalah pada transfer teknologi hijau dan kapasitas sumber daya manusia.
“Untuk kegiatan pengurangan emisi di aspek hulu, kemudian aspek hilir di pasarnya dibutuhkan kapasitas teknis yang sebetulnya multilayer – di policy maker, private sector, maupun di komunitas harus dikembangkan,” tuturnya.
SDM tersebut akan menghitung kredit karbon, emisi karbon yang bisa dicegah, dan lainnya. Untuk itu, sertifikasi SDM terkait pasar dan pajak karbon menjadi penting. Hal itu akan memberikan kepercayaan pada pasar sehingga perdagangan karbon berjalan baik dengan metodologi yang jelas.
Untuk itu, menurut Martina, diperlukan sinergi antara berbagai pemangku kepentingan baik dari pemerintah, sektor swasta, institusi keuangan, akademisi dan masyarakat sipil. Selain itu, sinergi internasional juga harus dilakukan.
Pendekatan terintegrasi dalam kebijakan pasar karbon juga menjadi penting. Penetapan harga karbon (carbon pricing), misalnya, harus dilengkapi dengan aturan, subsidi energi bersih, serta riset teknologi rendah karbon.
Martina juga menggarisbawahi pentingnya komitmen politis dari Pemerintah Indonesia dalam upaya dekarbonisasi ini. Membangun kredibilitas diakui memerlukan waktu, tetapi adanya kredibilitas akan memastikan standar global terpenuhi dan mekanisme perdagangan karbon semakin jelas dan terukur.
Sebagai informasi, Indonesia sudah berkomitmen untuk penanganan iklim global sejak KTT tentang Lingkungan dan Pembangunan di Rio de Janeiro tahun 1992, sampai menetapkan komitmen kontribusi untuk merespons fenomena perubahan iklim secara global (Nationally Determined Contribution/NDC) pada 2016.
NDC tersebut kemudian diperbarui pada 2021 dan diperkuat pada 2023. Terakhir, NDC yang diperkuat menetapkan target Indonesia mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 31,89 persen dengan usaha sendiri dan 43,20 persen dengan dukungan internasional. Adapun Indonesia menargetkan emisi nol (net zero emission) bisa dicapai di 2060.
Webinar “International Carbon Market: Opportunities and Challenges for Indonesia” diselenggarakan sebagai bagian dari grant tahun 2023 yang diberikan oleh Australia Indonesia Institute kepada the University of Technology Sydney dan berkolaborasi dengan Departemen Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia.