Suyoto, Pengajar Unmuh Gresik, DPP Partai NasDem(Dok. Pribadi)
SEBUAH fenomena menarik terjadi di kalangan generasi muda Indonesia: "urban prestige paradox", yaitu kecenderungan menyembunyikan identitas asal-usul daerah karena dikaitkan dengan stigma kemiskinan atau keterbelakangan. Edwin Pranata, sang pendiri Real Food, pernah menjadi bagian dari fenomena ini. Saat berkuliah di Seattle, AS, ia lebih memilih mengaku berasal dari Surabaya daripada menyebut Bojonegoro, kampung halamannya yang identik dengan bencana (banjir dan kekeringan) dan kemiskinan. Rasa malu itu pupus dalam satu momen yang menjadi titik balik.
Seorang temannya bercerita tentang pertemuan dengan seorang Bupati dari Indonesia di Harvard. "Bupati mana itu?" tanya Edwin. "Bojonegoro," jawab temannya. Spontan, dengan bangga ia berkata, "Ooh, itu Bupati saya." Peristiwa itu menyadarkannya bahwa sebuah tempat tidaklah menentukan, yang penting adalah apa yang diperbuat untuk mengubahnya. Bojonegoro, yang ia tinggalkan dengan stigma negatif, justru sedang dipuji dunia.
Otto Scharmer dalam buku Leading from the Emerging Future (2012) menyebut Bojonegoro sebagai model demokrasi 4.0. Dua tahun kemudian, Bojonegoro terpilih menjadi model kota dunia untuk Open Government Partnership, setara dengan kota-kota global seperti Paris, Madrid, dan Seoul.
Kebanggaan itu menjadi katalis bagi Edwin untuk pulang dan membangun. Pada 2014, setelah lulus, ia kembali ke Bojonegoro. Berbekal latar belakang keluarganya sebagai eksportir sarang burung walet, Edwin tidak sekadar meneruskan bisnis keluarga. Ia melakukan hilirisasi. Alih-alih mengekspor bahan mentah, ia mengolah sarang burung menjadi produk makanan dan minuman siap konsumsi dengan merek Real Food.
Inovasi, kegigihan, dan keyakinan
Visi Edwin sederhana namun kuat: bisnis bukan hanya mencari uang tapi juga sarana membuat masyarakat sehat melalui konsumsi berbahan lokal. Pilihannya pada sektor pangan didasari semangat regenerative agriculture, di mana seluruh mata rantai —dari hulu (petani, peternak walet) hingga hilir (pemasarannya)— melibatkan dan menguatkan ekonomi lokal.
Jalan yang dilalui Real Food tidaklah mulus. Untuk menciptakan produk bernilai tinggi, Edwin melibatkan ahli pangan, menerapkan teknologi pengolahan modern, dan mendesain kemasan menarik. Strategi pemasaran awalnya menggunakan model multilevel marketing, namun setelah dievaluasi, mereka beralih ke platform marketplace digital yang lebih efektif. Kegigihan, keyakinan, dan kemampuan belajar dari kegagalan menjadi kunci bertahannya bisnis ini.
Momentum di tengah krisis
Pandemi covid-19 adalah ujian bagi banyak usaha. Awalnya, Real Food juga terdampak. Namun, tanpa diduga, permintaan terhadap minuman berbahan sarang burung —yang dipercaya dapat meningkatkan imunitas—melonjak drastis. Real Food tidak hanya merespons peluang pasar tetapi juga menjalankan misi sosial dengan mendonasikan produk ke berbagai rumah sakit dan pasien covid-19. Aksi sosial ini justru meningkatkan public awareness dan kepercayaan terhadap merek mereka.
Lebih dari sekadar momentum pemasaran, pandemi membuka kesadaran Edwin akan tantangan kesehatan lain seperti stunting, kanker, dan gaya hidup wellness sebagai peluang baru untuk pengembangan produk.
Lesson learned: adaptif dan terus bertransformasi
Kisah Real Food adalah contoh nyata bagaimana entrepreneurship yang dipadukan riset dan inovasi dapat mengubah narasi sebuah daerah. Beberapa pelajaran kunci yang dapat diambil:
- Spirit hilirisasi: menambah nilai tambah pada bahan baku lokal.
- Kolaborasi lintas generasi: memadukan pengetahuan tradisional keluarga dengan visi bisnis modern anak muda.
- Adaptasi digital: fleksibel dalam mengubah strategi pemasaran sesuai dengan dinamika pasar.
- Dukungan institusi: peran pemerintah, dalam hal ini BPOM, dalam memastikan standar produk sangat krusial.
- Visi global, akar lokal: meski produknya lokal, cita rasa dan kualitasnya dirancang untuk bersaing secara global.
Bagaimana memaknai kasus sebagai pembelajaran teoritik dan nilai Islam
Kisah Edwin dan Real Food adalah perwujudan sempurna dari beberapa teori entrepreneurship utama:
Pertama, Theory of Entrepreneurial Identity (Fauchart & Gruber, 2011): Perjalanan Edwin dari malu menjadi bangga sebagai orang Bojonegoro mencerminkan pembentukan identitas kewirausahaan yang berbasis pada place identity. Identitas ini kemudian menjadi motivasi intrinsik dan core value dari bisnisnya.
Kedua, Effectuation Theory (Sarasvathy, 2001): Edwin tidak mulai dengan perencanaan bisnis yang kaku. Ia memanfaatkan sumber daya yang ada (means at hand)—latar belakang keluarga di bisnis sarang burung dan kekayaan lokal Bojonegoro—untuk menciptakan peluang baru secara bertahap, dengan berani mencoba strategi pemasaran yang berbeda dan belajar dari kegagalan.
Ketiga, Schumpeterian Theory of Innovation (Joseph Schumpeter): Real Food adalah contoh "creative destruction". Edwin menghancurkan model bisnis lama (ekspor bahan mentah), dan menciptakan model baru (produk olahan bernilai tinggi dengan merek kuat) yang mengubah lanskap industri sarang burung di daerahnya.
Keempat, Social Entrepreneurship: Motivasi Edwin yang kuat untuk menyehatkan masyarakat dan mengangkat ekonomi lokal menunjukkan bahwa entrepreneurship tidak hanya berorientasi profit (commercial entrepreneurship) tetapi juga memiliki dampak sosial yang mendalam.
Kesesuaian dengan nilai-nilai Islam
Perjalanan bisnis Real Food sejalan dengan prinsip-prinsip ekonomi dan bisnis Islam, yakni
- Khalifah fil Ardh (menjadi pemimpin di bumi): Edwin menjalankan fungsinya sebagai khalifah dengan mengelola sumber daya alam (sarang burung) secara bertanggungjawab dan memberinya nilai tambah (ihsan), tidak mengeksploitasinya secara serakah.
- Konsep Maqashid Syariah: bisnisnya melindungi dan mempromosikan agama (menjaga kesehatan), jiwa (melawan stunting), akal (dengan produk bernutrisi), keturunan (meningkatkan kualitas generasi sehat), dan harta (dengan menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan ekonomi).
- Kebermanfaatan (maslahah): visi "bisnis untuk kesehatan masyarakat" adalah wujud nyata dari mencari maslahah yang seluas-luasnya, yang merupakan tujuan tertinggi dalam Syariah.
- Prinsip Halal dan Thayyib: dengan mengantongi sertifikasi BPOM dan fokus pada kesehatan, Real Food tidak hanya memastikan kehalalan produknya, tetapi juga thayyib (baik, bergizi, dan aman).
- Zakat, Infaq, Shadaqah (ZIS): Donasi produk ke rumah sakit dan pasien selama pandemi adalah praktik nyata dari shadaqah dan kepedulian sosial, yang merupakan pilar penting dalam ekonomi Islam.
Dengan demikian, kisah Real Food dari Bojonegoro bukan sekadar cerita sukses bisnis, tetapi sebuah blueprint tentang bagaimana entrepreneurship yang berbasis riset, inovasi, dan nilai-nilai luhur baik universal maupun spiritual— dapat menjadi mesin penggerak transformasi ekonomi dan sosial yang berkelanjutan.
Semoga bermanfaat bagi Indonesia.


















































