Badai PHK di Industri Tekstil dan Produk Tekstil Mengintai

14 hours ago 3
Badai PHK di Industri Tekstil dan Produk Tekstil Mengintai Ilustrasi--Pekerja menyelesaikan pembuatan celana berbahan jins di Kawasan Perkampungan Industri Kecil, Penggilingan, Jakarta Timur.(MI/ATET DWI PRAMADIA)

RENCANA Pemerintah mengenakan Bea Masuk Antidumping (BMAD) terhadap produk Benang Partially Oriented Yarn (POY) dan Drawn Textured Yarn (DTY) dinilai akan merugikan industri tekstil dan produk tekstil (TPT) nasional.

POY dan DTY merupakan bahan baku penting bagi industri tekstil berbasis poliester dan diwacanakan akan dikenakan tarif tertinggi bea masuk antidumping sebesar 42,30%.

POY dan DTY digunakan secara luas sebagai input utama dalam proses pembuatan kain sintetis dan produk tekstil lainnya. 

Ketersediaannya yang stabil dan kompetitif sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan dan efisiensi industri hilir, seperti garmen, konveksi, dan tekstil rumah tangga.

Para pelaku usaha TPT nasional berpendapat kapasitas produksi nasional untuk POY dan DTY saat ini masih memerlukan penguatan, terutama dalam aspek volume pasokan, konsistensi kualitas, dan keterjangkauan harga.

"Produk POY dan DTY akan dikenakan BMAD dengan tarif tertinggi sebesar 42,30% tentunya akan meningkatkan biaya produksi secara signifikan," ujar Direktur PT Anggana Kurnia Putra, Wilky Kurniawan, salah satu industri TPT nasional.

Dia menegaskan, industri TPT nasional sangat bergantung pada ketersediaan POY dan DTY sebagai bahan baku utama untuk pembuatan benang.

Jika dikenakan bea masuk antidumping, harga benang akan menjadi mahal dan membuat biaya pembuatan kain juga akan semakin mahal dan pada akhirnya produk pakaian jadi ke konsumen menjadi ikut mahal.

“Dengan mahalnya bahan baku benang akan berdampak pada industri hilir dan semangat menjalankan hilirisasi akan sulit terwujud, apalagi pada pakaian jadi dan barang jadi tidak ada pengenaan BMAD atau Safeguard," ungkap Wilky Kurniawan.

Saat pelaku usaha merasa tidak dapat lagi mempertahankan usahanya, pilihan terakhir, mereka terpaksa melakukan penutupan usahanya dan melakukan PHK.

"Industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu. Pengenaan bea masuk anti dumping terhadap POY dan DTY hanya menguntungkan segelintir perusahaan” tegas Wilky.

“Biaya produksi yang tinggi dan daya beli masyarakat yang menurun menyebabkan tantangan Industri TPT nasional semakin berat, sedangkan biaya operasional industri TPT tidak dapat dipangkas, khususnya untuk membayar upah pekerja," lanjutnya.

Dia mengatakan, industri TPT nasional akan semakin terpuruk dan gugur satu per satu jika pemerintah mengenakan bea masuk anti dumping.

Jika harga jual TPT terlampau tinggi akan menurunkan minat beli masyarakat yang mengakibatkan penjualan TPT produksi lokal semakin sulit bersaing. 

Di Indonesia, jumlah industri TPT kelompok besar dan sedang saat ini mencapai 5.000 lebih perusahaan. Angka tersebut belum termasuk industri TPT skala mikro-kecil yang jumlahnya hampir 1 juta.

Sebagai informasi, tenaga kerja yang terserap industri TPT mencapai 3 juta lebih di 2024.

Wilky menegaskan, sektor industri sedang menghadapi masa sulit karena kenaikan harga produk TPT lokal yang sangat sulit diserap oleh pasar lokal. Di sisi lain, perekonomian nasional sedang lesu dengan daya beli masyarakat yang menurun.

Dengan teknologi digital yang semakin canggih, sekarang masyarakat dengan mudah dapat menjangkau melalui e-commerce, untuk memperoleh harga yang lebih murah dan kualitas yang lebih baik. 

Dia menegaskan, pemerintah seharusnya menjaga agar minat masyarakat membeli produk lokal hasil industri TPT tetap baik sekaligus membantu mengangkat perekonomian nasional yang lesu. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |