
Analis Kebijakan Ekonomi Apindo, Ajib Hamdani, menyebut pertumbuhan ekonomi Indonesia yang hanya 4,87% jauh dibawah target pertumbuhan ekonomi yang menjadi acuan dalam kerangka ekonomi makro 2025. Dalam kerangka itu, target pertumbuhan dipatok sebesar 5,1%-5,5%. Pada Senin (5/5), Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Amalia Adininggar Widyasanti, menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2025 sebesar 4,87%.
Momentum pertumbuhan ekonomi, sambung Ajib, biasanya mengandalkan kuartal I karena siklus ramadan dan lebaran. Pertambahan perputaran uang mencapai lebih dari Rp140 triliun. Sebagai perbandingan, pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2024 mencapai 5,11%, dan kemudian pertumbuhan ekonomi sebesar 5,03% secara agregat pada akhir tahun 2024.
"Dalam kondisi ceteris paribus dan tidak ada terobosan program dari pemerintah, dengan pertumbuhan ekonomi kuartal I tahun 2025 sebesar 4,87%, sulit mencapai pertumbuhan ekonomi di atas 5% secara agregat pada akhir tahun," ucap Ajib pada Selasa (6/5).
Ajib menyampaikan, pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami tekanan karena masing-masing faktor pertumbuhan ekonomi mengalami konstraksi. Pertama, daya beli masyarakat yang mengalami penurunan yang kemudian diikuti gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang terus terjadi sejak awal tahun. Apindo mencatat lebih dari 40 ribu tenaga kerja mengalami PHK di tahun ini.
Kedua, belanja pemerintah yang mengalami tekanan. Penerimaan pajak dinilai cukup jauh dari target yang hanya mencapai 14,7% sampai Maret 2025 dari target ideal 20%. Bahkan pola Danantara yang menjadi pengelola deviden BUMN, menjadi penggerus sektor Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Ketiga, sisi investasi yang cenderung masih wait and see karena kondisi ekonomi domestik dan global yang masih fluktuatif. Keempat, sektor ekspor impor sangat terpengaruh oleh kebijakan tarif Trump.
Oleh karenanya, Ajib menilai bahwa untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih eskalatif, pemerintah Indonesia harus mendorong low cost economy.
"Kebijakan-kebijakan yang didorong bisa menduplikasi yang dilakukan oleh pemerintah Tiongkok dalam mendorong ekonomi domestik dan industri manufakturnya mempunyai daya saing yang tinggi," sebutnya.
Paling tidak, sambung dia, ada 4 hal yang bisa didorong oleh pemerintah. Pertama, penyediaan energi yang murah. Kedua, mendorong infrastruktur dan logistik yang efisien. Ketiga, clustering ekonomi dan ekosistem bisnis dan keempat mendorong produktivitas tenaga kerja.
Untuk mendorong program-program tersebut, tambah dia, Apindo mengusulkan pembentukan Indonesia Incorporated yang menekankan pentingnya sinergi antar pemerintah dan dunia usaha untuk memastikan keberlanjutan dan profitabilitas perusahaan. Dunia usaha diharapkan tidak hanya sebagai pelaku ekonomi, tetapi juga sebagai mitra strategis dalam memberikan solusi atas permasalahan bangsa, terlibat aktif dalam deregulasi, revitalisasi industri padat karya dan mendesain kebijakan-kebijakan yang pro dengan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan.
"Kalau pemerintah fokus dengan program jangka pendek sekaligus jangka panjang, pertumbuhan ekonomi yang terkonstraksi pada kuartal I 2025 bisa menjadi pondasi untuk pertumbuhan ekonomi selanjutnya yang lebih baik. Harus ada terobosan signifikan dari pemerintah agar pertumbuhan ekonomi agregat tahun 2025 lebih eskalatif dan mencapai angka psikologis minimal 5% pada akhir tahun," pungkasnya. (E-3)