
PARA ilmuwan menemukan sebuah planet yang berpotensi layak huni sedang kehilangan atmosfernya. Proses ini dikhawatirkan akan membuat planet bernama Trappist-1e, menjadi tidak ramah bagi kehidupan. Ilmuwam menduga, kehilangan atmosfer ini diduga dipicu arus listrik yang tercipta akibat kecepatan orbit planet tersebut mengelilingi bintang induknya, sebuah bintang katai merah.
Penemuan ini penting karena sistem Trappist-1, tempat planet ini berada, selama ini menjadi salah satu target utama dalam pencarian kehidupan di luar Bumi. Dari tujuh planet berbatu mirip Bumi di sistem tersebut, setidaknya tiga berada di zona layak huni, wilayah yang tidak terlalu panas atau dingin sehingga memungkinkan air tetap dalam bentuk cair.
Tanpa atmosfer, sebuah planet tidak dapat mempertahankan air cair. Meskipun berada di zona layak huni, atau yang sering disebut "zona Goldilocks." Ini berarti, meskipun Trappist-1e berada dalam zona layak huni sistem Trappist-1 yang berjarak sekitar 40 tahun cahaya dari Bumi, kelayakhuniannya bisa jadi hanya sementara.
Fenomena yang memengaruhi atmosfer Trappist-1e ini kemungkinan juga terjadi pada planet-planet lain dalam zona layak huni tersebut, berita buruk bagi harapan menemukan kehidupan di sistem ini.
Bagaimana atmosfer planet bisa menghilang?
Trappist-1e berukuran hampir sama dengan Bumi, tapi massanya hanya sekitar 70% dari Bumi. Planet ini merupakan planet keempat dari bintangnya, mengorbit pada jarak hanya 0,028 kali jarak Bumi–Matahari, dan menyelesaikan satu putaran orbit dalam waktu 6,1 hari Bumi.
Meskipun begitu dekat dengan bintangnya, Trappist-1 jauh lebih kecil dan lebih dingin daripada Matahari, sehingga zona layak huninya juga jauh lebih dekat ke bintang. Menariknya, bukan radiasi yang menyebabkannya kehilangan atmosfer, melainkan angin Bintang, hembusan partikel bermuatan dari bintang induk.
“Kami meneliti bagaimana cuaca luar angkasa berubah sepanjang orbit planet. Trappist-1e bergerak sangat cepat melewati berbagai kondisi angin bintang, yang menyebabkan medan magnet planet mengalami tekanan dan relaksasi seperti denyutan,” jelas Cecilia Garraffo, astrofisikawan dari Harvard & Smithsonian, kepada Space.com.
“Hal ini memicu arus listrik kuat di atmosfer bagian atas ionosfer yang memanaskan atmosfer seperti pemanas Listrik,” tambahnya.
Garraffo menjelaskan Bumi juga mengalami pemanasan serupa akibat angin matahari, namun efeknya jauh lebih kecil. Di Trappist-1e, pemanasan ini bisa mencapai 100.000 kali lebih kuat karena kecepatan orbitnya yang ekstrem memicu arus ionosfer yang kuat dan menghasilkan pemanasan ekstrim yang disebut voltage-driven Joule heating.
Meski sudah diprediksi sejak 2017, para peneliti tetap terkejut dengan seberapa besar dampak pemanasannya.
“Efeknya bisa begitu besar hingga atmosfer bagian atas Trappist-1e menguap,” ujar Garraffo. “Dalam jutaan tahun, planet ini bisa kehilangan atmosfer sepenuhnya,” lanjutnya.
Penelitian ini menunjukkan ada banyak cara bagi atmosfer planet untuk menghilang. Biasanya, atmosfer eksoplanet hilang karena proses eksternal seperti radiasi kuat dari bintang atau hantaman partikel bermuatan dari angin bintang.
“Namun dalam kasus ini, atmosfer memanas dan hilang hanya karena gerakan orbit planet itu sendiri. Jadi, planet itu secara tidak langsung menyabotase dirinya sendiri hanya dengan bergerak,” kata Ofer Cohen, peneliti dari Lowell Center for Space Science & Technology.
“Seperti saat kita malas membersihkan salju di atap mobil, lalu langsung berkendara dengan harapan angin akan membersihkannya. Di Boston, itu hal biasa,” tambahnya.
Bagaimana nasib planet Trappist-1 lainnya?
Di Bumi, medan magnet melindungi atmosfer dengan membelokkan partikel bermuatan ke garis medan magnet dan menjauh dari planet. Mars, yang tidak punya medan magnet kuat, kehilangan atmosfernya akibat angin matahari dan radiasi. Akibatnya, planet Merah itu kemungkinan juga kehilangan airnya.
Trappist-1e diperkirakan memiliki magnetosfer, tapi temuan ini menunjukkan bahwa perlindungan tersebut mungkin tidak cukup.
"Biasanya, medan magnet berfungsi sebagai perisai. Tapi di Trappist-1e, perisai ini terganggu karena terhubung langsung dengan medan magnet bintang, sehingga partikel dari bintang bisa langsung menghantam planet,” jelas Garraffo.
“Ini bukan hanya mengikis atmosfer, tapi juga memanaskannya secara ekstrem membuat Trappist-1e dan tetangganya rentan kehilangan atmosfer sepenuhnya,” tambahnya.
Trappist-1e adalah planet keempat dalam sistem yang penuh planet berbatu ini. Sebelumnya, para astronom menemukan bahwa Trappist-1b planet terdekat dengan Bintang kemungkinan besar sudah kehilangan atmosfernya.
Tim peneliti memperkirakan bahwa pemanasan Joule juga terjadi pada Trappist-1f dan Trappist-1g, meski mungkin tidak separah Trappist-1e. Kedua planet tersebut berada pada jarak lebih jauh, sehingga kecepatan mereka relatif lebih lambat dalam menghadapi angin bintang.
“Planet-planet yang lebih dekat akan mengalami nasib lebih ekstrem, dan yang lebih jauh mungkin lebih ringan,” ujar Garraffo.
“Saya rasa semua planet di sistem Trappist-1 akan kesulitan mempertahankan atmosfer,” lanjutnya.
Temuan ini bukan hanya penting untuk sistem Trappist-1, tapi juga untuk pencarian planet layak huni di luar tata surya. Hasilnya mengisyaratkan bahwa planet yang terlalu dekat dengan bintang, meskipun berada di zona layak huni, mungkin sudah kehilangan atmosfernya.
Penelitian ini juga bisa membantu menentukan jenis bintang yang lebih mungkin memiliki planet dengan biomarker, molekul yang menunjukkan adanya kehidupan.
“Penelitian kami menunjukkan bahwa bintang-bintang bermassa rendah mungkin bukan kandidat terbaik untuk planet beratmosfer,” tutur Garraffo.
“Penting untuk mengidentifikasi bintang mana yang lebih mendukung kelayakhunian, lalu mengamati atmosfer planet-planet itu menggunakan teleskop seperti James Webb dan observatorium masa depan. Tapi kita juga harus mengembangkan teknologi yang bisa menginterpretasi hasil-hasil tersebut dalam konteks biomarker,” pungkasnya. (space/Z-2)