Pengamat: Insiden Jembatan Mahakam Bukti Pengelolaan Infrastruktur Vital Masih Lemah

3 hours ago 2
 Insiden Jembatan Mahakam Bukti Pengelolaan Infrastruktur Vital Masih Lemah Pengamat maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa.(Dok. Pribadi)

PENGAMAT maritim dari IKAL Strategic Center (ISC) Marcellus Hakeng Jayawibawa mengungkapkan insiden kapal tongkang bermuatan batu bara yang menabrak tiang penyangga Jembatan Mahakam, Kalimantan Timur, beberapa waktu lalu menjadi peringatan keras tentang pentingnya menjaga keselamatan infrastruktur strategis di tengah lalu lintas logistik yang padat.

Seperti diketahui, insiden kapal tongkang batu bara yang menabrak jembatan Mahakam kembali terjadi pada 28 April 2025. Kerusakan yang ditimbulkan memicu penutupan sementara jembatan dari 30 April hingga 1 Mei 2025.

Marcellus menilai insiden ini menyisakan persoalan besar yang tidak hanya menyangkut aspek teknis konstruksi, tetapi juga menyentuh ranah tata kelola, keseimbangan antara keselamatan dan ekonomi, serta efektivitas regulasi lintas sektor.

”Jembatan Mahakam bukan hanya penghubung wilayah darat di Kalimantan Timur, tetapi juga berada tepat di atas jalur pelayaran yang vital untuk sektor batu bara dan logistik nasional,” kata Marcellus, melalui keterangannya, Selasa (6/5).

Marcellus mengungkapkan setiap gangguan pada jalur secara otomatis mengganggu distribusi barang, memicu keterlambatan pengiriman, hingga menimbulkan kerugian ekonomi sistemik. Hal ini aman memengaruhi penerimaan negara dan daya saing ekspor Indonesia.

Menurut Marcellus, insiden ini tidak bisa hanya dilihat sebagai kecelakaan tunggal yang diselesaikan secara insidental. Ia menekankan pentingnya membaca peristiwa ini sebagai cerminan dari lemahnya sistem pengelolaan infrastruktur strategis nasional, terutama yang melibatkan lebih dari satu otoritas.

Sungai Mahakam merupakan jalur logistik utama, tetapi pengelolaannya sangat terfragmentasi. Kementerian PUPR bertanggung jawab atas jembatan, sementara lalu lintas sungai dikelola Kementerian Perhubungan melalui KSOP.

“Struktur ini membuat setiap respons atas insiden menjadi lamban dan rentan salah langkah, karena tidak ada mekanisme komando terpadu untuk penanganan darurat atau mitigasi risiko. Hasilnya, kebijakan yang diambil sering kali tidak menyeluruh, cenderung reaktif, dan tidak mempertimbangkan dampak ekonomi serta sosial secara holistik,” kata Marcellus.

Ia mengatakan saat jalur ini terganggu, efek domino segera terlihat. Kapal yang harus menunggu di luar pelabuhan terkena beban biaya tinggi, gudang penyimpanan mengalami penumpukan, dan pelabuhan menjadi penuh sesak.

Dalam jangka pendek, Marcellus mengungkapkan, kerugian dapat dilihat dari biaya logistik yang membengkak. Sedangkan dalam jangka panjang, kondisi ini menggerus kepercayaan investor, menurunkan daya saing ekspor, dan bahkan memengaruhi posisi Indonesia dalam rantai pasok global. "Gangguan sekecil apapun terhadap jalur distribusi batu bara berarti potensi kerugian terhadap pendapatan negara bukan pajak yang besar,” tuturnya.

Oleh karena itu, lanjut Marcellus mengungkapkan solusi yang diambil tidak bisa hanya berupa penutupan dan peninjauan ulang tanpa tindak lanjut strategis. Salah satu solusi konkretnya adalah pemasangan fender di sekitar tiang jembatan. Fender merupakan pelindung elastis dari bahan karet yang mampu menyerap energi benturan kapal, sehingga mencegah kerusakan pada struktur jembatan.

“Sayangnya, meskipun Jembatan Mahakam sudah mengalami lebih dari 20 kali insiden tabrakan sejak dibangun, instalasi fender belum menjadi bagian dari sistem perlindungan permanen. Padahal, bila biaya pemasangan dibagi bersama antara pemerintah dan pelaku pelayaran, misalnya melalui skema retribusi atau premi perlindungan, maka beban fiskalnya dapat ditekan dan menjadi investasi jangka panjang yang sangat rasional,” ujarnya.

Selain itu, Marcellus menekankan pentingnya koordinasi lintas lembaga yang lebih responsif. Pemerintah daerah, meskipun tidak memiliki kewenangan formal dalam pengelolaan sungai atau jembatan, memiliki pengetahuan kontekstual dan aspirasi masyarakat yang perlu didengar.

"Reformasi tata kelola pelayaran sungai dan infrastruktur pendukung harus diarahkan pada integrasi data dan pemantauan teknologi. Penempatan alat bantu navigasi seperti lampu, radar, dan kamera pemantau harus diperkuat untuk meminimalkan potensi kecelakaan,” pungkasnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |