
KOMISI I DPR RI dan pemerintah mulai membahas revisi Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (Revisi UU TNI). Salah satu poin perubahan yang dibahas yaitu penugasan jabatan sipil.
Adapun pemerintah memperluas cakupan jabatan sipil di kementerian dan lembaga yang boleh ditempati prajurit TNI aktif. Semula berjumlah 10, kini diusulkan ditambah menjadi 15.
Merespons itu, Peneliti Imparsial Al Araf menilai terdapat pasal-pasal yang harus dipangau dan dikritisi, khususnya terkait dengan perluasaan di jabatan sipil dan perluasan tugas operasi militer selain perang.
“Perluasan di jabatan sipil yang menambah di kantor kejaksaan agung dan KKP masih jadi tanda tanya,” terang Al Araf kepada Media Indonesia, Rabu (12/3).
Untuk di kejaksaan Agung (Kejagung), kata Al Araf, perluasan TNI di lembaga hukum tersebut tidak tepat. Pasalnya, Al Araf menilai TNI berfungsi sebagi alat pertahanan negara sementara Kejagung berfungsi sebagai penegak hukum.
Sehingga, kata Al Araf, tidak tepat jika TNI bisa menduduki di jabatan Kejagung. Meskipun saat ini ada Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer (Jampidmil) di Kejagung, Al Araf menuturkan sebaiknya perwira TNI aktif yang akan masuk di Kejagung mengundurkan diri terlebih dahulu.
“Begitu pula di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebaiknya mengundurkan diri juga , jadi lebih efektif kerjanya,” tegasnya.
Namun, Al Araf menyayangkan penambahan tugas operasi milter selain perang yang meluas seperti menangani narkoba karena terlalu berlebihan. Upaya penanganan narkoba semestinya tetap dalam koridor penegakan hukum.
TNI, lanjut Al Araf, adalah alat pertahanan negara sehingga tidak perlu terlibat di dalamnya. “Penanganan narkoba seharusnya lebih menekankan aspek persuasif dan penegakaan hukum bukan represif melalui operasi militer selain perang dengan pelibatan TNI di dalamnya. Karenanya ini berlebihan,” tandasnya. (Ykb/P-1)