
MENJADI guru di tengah era digital membutuhkan kecakapan tersendiri. Profesionalitas tidak hanya diukur dengan kedisiplinan waktu bekerja dan nilai maksimal yang dituai oleh peserta didik, melainkan juga kesadaran untuk selalu mendulang ilmu pengetahuan yang terbarukan. Membaca merupakan metode belajar sepanjang hayat yang seyogyanya juga masih ditradisikan oleh para guru.
Ini penting untuk menjaga mental intelektual serta updating informasi bagi para peserta didik. Tradisi membaca akan berimbas pada ketertiban hidup.
Kegiatan ini bukan hanya sekedar usaha mengisi waktu luang, namun sebagai ikhtiar untuk mengisi kebajikan dalam setiap waktu yang berdetak. Di era ketika media sosial merajalela, usaha membuang waktu dari scrolling tanpa batas, termasuk mengakses konten-konten brainrot, biasa dikenal dengan konten receh, menjadi kebiasaan sehari-hari.
Tanpa sadar, jari jemari ini ke lembah malas gerak tanpa batas, sehingga terjadi dehumanisasi dalam pemikiran yang berdampak pada kelesuan berpikir dan bertindak.
Kawah Peradaban
Ketika wahyu pertama turun di Gua Hira (terletak di sebelah Utara Mekkah), kata Iqra' menggema bak gemuruh ilahi yang mengguncang jiwa Nabi Muhammad SAW, menandai fajar sejarah membaca dalam Islam. Al-Alaq ayat 1–5 bukan sekadar perintah, melainkan undangan suci untuk menyelami lautan pengetahuan, dari rahasia alam hingga keagungan Pencipta.
Di tengah masyarakat Arab yang gandrung tradisi lisan, Iqra menjadi mercusuar, mengajak umat Islam merengkuh ilmu dari rerumputan padang hingga bintang di langit. Nabi, dengan pena wahyu, menabur benih literasi yang kelak menjelma pohon raksasa, menaungi peradaban.
Gua Hira
Maka, Gua Hira adalah titik nol, tempat membaca lahir sebagai ibadah dan pencerahan. Di bawah naungan Kekhilafahan Abbasiyah, benih Iqra' berbunga menjadi kebun ilmu yang rimbun, dengan Baghdad sebagai jantungnya yang berdenyut. Abad ke-8 hingga ke-13 menyaksikan banjir pengetahuan dari Persia dan Yunani Kuno, diterjemahkan dan disintesiskan dalam harmoni intelektual yang menakjubkan.
Baitul Hikmah, istana kebijaksanaan, menjadi magnet bagi para cendekiawan, dari Al-Kindi hingga Ibnu Sina, yang menari di antara naskah-naskah kuno dan wahyu ilahi. Di sini, membaca tak lagi sekadar ritual, tetapi hasrat jiwa yang mengubah teks menjadi obor peradaban. Perpustakaan ini, dengan rak-raknya yang sarat ilmu, adalah simfoni pengetahuan yang menggema hingga ujung dunia.
Teks Suci
Namun, kejayaan ini bukan tanpa akar. Semangat Iqra' telah menjelma dalam tradisi menuntut ilmu yang mengalir bagai sungai. Dari masjid-masjid sederhana di Madinah hingga madrasah-madrasah megah di Cordoba, Andalusia, umat Islam membaca untuk memahami Tuhan, alam, dan diri mereka sendiri. Al-Ghazali merenungi teks suci untuk menemukan makna batin, sementara Al-Biruni menyelami bintang dan bumi dengan lensa ilmu.
Membaca, dalam perspektif Islam, adalah ziarah intelektual, mengikat hati pada kebenaran abadi. Sejarah ini menegaskan bahwa literasi adalah denyut nadi umat, menjadikan mereka penjaga cahaya di tengah gelapnya zaman.
Abad Keemasan
Kitab adalah barang berharga di Abad Keemasan Islam. Terdapat suatu redaksi yang menyebutkan bahwa kitab-kitab yang ditulis oleh para ulama akan ditukar dengan emas, yang disesuaikan dengan berat kitab tersebut. Hal ini mengindikasikan adanya perhatian yang besar dari khalifah terhadap ilmu pengetahuan.
Ulama dengan kesejahteraan yang cukup, tentu akan lebih mudah memantik daya cipta ilmu pengetahuannya, dan ini juga berimbas pada majunya majlis ilmu pengetahuan di masa itu. Jundishapur, permata warisan Persia di era Abbasiyah, bersinar sebagai sekolah kedokteran terbaik, mewarisi tradisi intelektual Sassanid yang memadukan kebijaksanaan Yunani, India, dan Persia.
Etika dan Filsafat
Berdiri sejak abad ke-3 oleh Shapur I, institusi ini mencapai puncaknya di bawah Khosrau I, menjadi oase pengetahuan dengan Bimaristan (rumah sakit pengajaran), laboratorium farmakologi, dan perpustakaan yang kaya. Para guru, seperti Jibril (Gabriel) bin Bakhtishu, tak hanya mengajarkan anatomi dan terapi, tetapi juga membina peserta didik dengan etika dan filsafat, menjadikan mereka dokter yang berpikiran terbuka dan berjiwa mulia.
Pendidikan di Jundishapur tak sekadar teknis; ia adalah simfoni intelektual yang menyiapkan dokter untuk melayani umat dengan kepekaan budaya dan spiritual. Warisannya mengalir ke Baghdad, membentuk fondasi kedokteran Islam yang gemilang. Hasil diskusi, olah pikiran dan membaca menghasilkan masyarakat akademik yang teratur.
Pembibitan intelektual akan melahirkan masyarakat yang berakarakter dan semakin bertumbih di atas aras modernitas. Khazanah lama masa silam tentu sangat relevan untuk diadopsi di masa sekarang. Selain fasilitas yang cukup, pengembangan kapasitas diri yang terus ditempa, hendaknya harus ada di setiap pribadi guru negeri ini.
Daya Saing
Hari Pendidikan Nasional yang jatuh setiap tanggal 2 Mei, hendaknya menjadi indikator perubahan sistem berpikir para guru. Mereka harus mencanangkan kegiatan membaca sebagai satu bentuk disiplin diri, yang nantinya akan ditularkan pada peserta didik. Tradisi ini sepertinya masih langka, hidup dan berkembang di tengah masyarakat kota, apalagi di pedesaan.
Pada 2024, UNESCO merilis data yang menyebutkan bahwa minat membaca masyarakat Indonesia masih rendah, yakni sekitar 0,001 %. Artinya, dari 1000 populasi, hanya ada 1 orang yang membaca. Kenyataan ini seharusnya menjadi cambuk untuk menggalakkan minat baca di semua kelompok umur.
Dengan membaca maka asupan intelektual akan terjaga. Di sisi lain, kegemaran ini tentu akan menjadi habit baru yang akan mengasah keseharian peserta didik untuk membiasakan hidup disiplin. Keteraturan menumbuhkan pribadi yang kuat. Ini akan menjadi modal penting untuk mengukur keberhasilan belajar bagi para siswa. Jika budaya ini sudah tumbuh, niscaya nilai-nilai mereka akan berada di peringkat baik.
Budaya Membaca
Guna menumbuhkan masyarakat gemar membaca, memang dibutuhkan dukungan banyak pihak. Orang tua mempunyai andil dalam memberikan suntikan semangat baca, dengan memfasilitasi anaknya dengan buku dan ruang belajar yang memadai. Tidak harus luks, tapi nyaman untuk belajar. Asupan pendidikan agama juga berpeluang untuk mendorong para anak untuk membaca, bahkan tidak menutup kemungkinan untuk memberikan sugesti bahwa membaca sama pentingnya dengan ibadah wajib harian pada Tuhan.
Pada tataran yang lebih tinggi, pemerintah juga perlu menggulirkan aneka kebijakan yang bermuara pada penanaman giat literasi. Ini bisa diturunkan hingga ke tataran sekolah, untuk membentuk ekosistem sosial yang mendukung budaya membaca.
Rasa kuriositas
Kesabaran adalah kunci. Tidak semua guru dibekali dengan tongkat sihir yang akan merubah keadaan dengan instan. Sebab itu, di sini peran orang tua dibutuhkan. Rasa kuriositas mereka terhadap kerja dan kinerja guru harus dikontrol.
Guru bukan pekerja yang dengan bebasnya menjadi sasaran kritik atas kinerjanya, apabila dianggap tidak menghasilkan karakter siswa yang baik. Itu semua membutuhkan proses yang panjang dan sustainabel. Membiarkan guru bekerja adalah bagian dari dukungan nyata terhadap ikhtiar bajik mereka. (P-3)