
PELATIH sepak bola profesional, Timo Scheunemann, menekankan pentingnya membangun ekosistem sepak bola anak, khususnya bagi kelompok usia 10 hingga 12 tahun, agar proses pembinaan bisa lebih terarah dan berkelanjutan.
Menurut Timo, anak-anak dalam rentang usia tersebut sebaiknya mengikuti sesi latihan tim sebanyak dua hingga tiga kali per minggu, serta ikut satu pertandingan. Untuk anak yang memiliki bakat menonjol, intensitas latihan bisa ditingkatkan hingga empat kali dalam seminggu.
“Latihan bersama itu penting, tapi latihan individual jauh lebih penting di usia segitu,” ujar Scheunemann kepada Antara saat ditemui di Jakarta, Minggu.
Ia juga menyoroti perbedaan karakter antara sekolah formal dan Sekolah Sepak Bola (SSB). Menurutnya, kompetisi untuk anak laki-laki lebih ideal jika diselenggarakan antar-SSB, mengingat anak-anak di sana umumnya sudah memiliki minat kuat terhadap sepak bola.
Namun, situasi berbeda dihadapi oleh sepak bola putri. Jumlah SSB khusus perempuan masih sangat terbatas, sehingga kompetisi antar-SSB sulit diwujudkan.
“Oleh karena itu, kami membangun ekosistem sepak bola putri melalui sekolah. Kami turun langsung ke SD, memberikan pemahaman dan menunjukkan manfaat partisipasi di kompetisi ini,” jelasnya.
Timo bersama Bakti Olahraga Djarum Foundation saat ini aktif menyelenggarakan berbagai turnamen sepak bola untuk anak perempuan di kelompok usia dini. Selama dua tahun terakhir, ia juga terlibat dalam program pelatihan sepak bola putri bersama yayasan tersebut.
Ia berharap, dari kegiatan ini, akan muncul bakat-bakat baru yang kemudian tertarik mengembangkan diri lebih lanjut melalui SSB dan turut memperluas jaringan pengembangan pemain putri.
Performa tim nasional sepak bola putri Indonesia di beberapa ajang internasional juga disebut Scheunemann sebagai motivasi yang bisa menumbuhkan minat para siswi untuk menekuni sepak bola lebih serius. Menurutnya, kehadiran figur panutan sangat penting dalam proses ini.
Meskipun Indonesia telah memiliki timnas putri yang tampil di kancah regional, ia mengakui bahwa tantangan terbesar masih ada di tingkat akar rumput. Kehadiran sosok inspiratif seperti Shafira Ika dan Claudia Scheunemann dinilai dapat mengubah pandangan orang tua dan anak terhadap sepak bola perempuan.
“Kayak pemain-pemain seperti Shafira Ika, main bola tapi cantik ya. Terus kayak Claudia, keponakan saya, dia jago main, terus atletis gitu ya. Terus kan tetap feminin, tetap ceweknya cewek banget gitu kan. Jadi mereka bisa ngeliat, oh iya ini, itu penting kenapa? Buat anak-anak dan orang tuanya itu bisa punya idola yang asik gitu, yang tidak negatif gitu,” tutur Timo.
Ia menambahkan bahwa penting bagi anak-anak, khususnya perempuan, untuk tahu bahwa bermain sepak bola tidak akan menghilangkan sisi feminin mereka.
“Anak-anak perlu melihat bahwa bermain bola tidak membuat mereka kehilangan sisi feminin. Itu penting untuk menghapus stigma,” tutupnya. (Ant/I-3)