
SETIAP kali menjelang dan merayakan Hari Pendidikan Nasional (HARDIKNAS), batin saya selalu berkecamuk dengan pertanyaan yang campur aduk, bahkan cenderung bertentangan. Demikiankah sistem pendidikan kita? Benarkah arahnya, atau jangan-jangan salah arah? Benar bahwa setiap 2 Mei kita mensyukuri pencapaian dalam pendidikan kita.
Kerja keras dan usaha para guru diapresiasi setinggi-tingginya. Kita merasa bangga bahwa pendidikan kita telah mencetak banyak sarjana, magister, doktor, dan profesor.
Segudang Prestasi
Kebanggaan ini tidak berhenti di situ. Segudang prestasi para murid, mahasiswa, dan bahkan pengajar tidak diragukan lagi. Kita mampu bersaing, tidak hanya di skala nasional tetapi juga internasional. Sesungguhnya, HARDIKNAS adalah bentuk penghargaan atas semua keberhasilan itu.
Namun di sisi lain, data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberitakan bahwa 86% koruptor yang ditangkap berasal dari perguruan tinggi, dan ironisnya mereka menyandang gelar akademik tinggi.
Benar Mendidik
Pertanyaannya, apakah pendidikan kita sudah benar-benar mendidik? Ataukah hanya melahirkan orang-orang cerdas tapi mati hati nurani? Apakah pendidikan kita hanya sebatas pengajaran, dan bukan pendidikan dalam arti transfer nilai-nilai kepada anak didik?
Yang kita lihat di sini ialah bahwa pendidikan kita hanya mengasah intelektual saja. Dan apakah memang demikian tujuan akhir semua pendidikan? Hemat saya, manusia yang berintegritaslah tujuan akhir setiap pendidikan. Itu berarti bahwa ilmu dan pendidikan nilai harus diajarkan sekaligus.
Arah Moral
Pendidikan yang sesungguhnya ialah yang mampu mengubah manusia, atau mentransformasi manusia. Mengubah dalam hal apa? Kecerdasan intelektual tanpa karakter adalah sebuah keniscayaan semata. Jika hanya mementingkan kecerdasan intelektual, maka yang dilahirkan bukanlah insan paripurna, melainkan cendekia yang kehilangan arah moral.
Sejauh yang saya amati, praksis pendidikan kita lebih banyak berfokus pada pencapaian gemuruh prestasi akademik. Di mana pendidikan nilai? Hampir tidak kelihatan. Nilai kejujuran, tanggung jawab, penghargaan, dan etika perlahan-lahan pudar. Ditambah lagi budaya menyontek di kampus-kampus dan sekolah-sekolah yang masih menjadi masalah integritas akademik.
Berantas Contek
Ini yang memalukan ketika membaca pernyataan Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) dalam www.kompas.com. Ia mengatakan bahwa menyontek masih menjadi kebudayaan yang sulit diubah hingga sekarang.
Menyontek adalah sikap ketidakjujuran terhadap diri sendiri dan guru. Saat murid atau mahasiswa menyontek, ia sudah masuk dalam praktik ketidakjujuran ini. Nilai moral ini akan rusak jika terus dipelihara, dan bahkan bisa menjadi inkubator praktik korupsi di masa depan.
Praktik Korupsi
Lebih menyedihkan lagi, praktik korupsi bukan hanya menyontek. Di kampus-kampus dan sekolah-sekolah terdapat gratifikasi, konflik kepentingan, penyelewengan dana BOS, nepotisme, serta pungutan liar di luar biaya resmi (www.kompas.com).
Survei KPK lebih membuat kita tidak tahu harus membuang muka ke mana. Disebutkan bahwa dalam pendidikan kita, gratifikasi masih dianggap wajar oleh beberapa pendidik. Survei itu menunjukkan 29,17% guru menerima bingkisan dari siswa untuk mendapat perhatian lebih, dan 58,61% dosen menerima bingkisan dari mahasiswa demi kemudahan kelulusan.
Budaya Permisif
Rasa-rasanya sangat sedih melihat budaya permisif ini; membentuk generasi yang pintar membenarkan kecurangan ketimbang mengoreksi kesalahan. Lebih menyedihkan dan miris lagi jika kita membaca data yang dibuat oleh Badan Pusat Statistik, www.bps.go.id. Disebutkan bahwa situasi pendidikan di Indonesia per 2022 mengalami penurunan.
Jumlah guru pun berkurang dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Statistik penurunan guru paling banyak terdapat di jenjang sekolah dasar. Padahal, jika dilihat, keberhasilan proses pembelajaran tidak terlepas dari hadirnya guru di sekolah. Apalagi melihat banyak sekolah di desa yang kurang memiliki guru untuk beberapa mata pelajaran.
Namun tak bisa dipungkiri bahwa semangat anak-anak di kampung sangat tinggi untuk bersekolah, walaupun harus berjalan kaki belasan kilometer. Melihat hal ini, pemerintah perlu membuka mata dan memperhatikan sekolah-sekolah di desa-desa.
Minus Nilai
Apa yang mau dikatakan dengan data-data ini? Saya mengatakan bahwa pendidikan kita sudah ‘minus nilai’. Pendidikan sebagai proses internalisasi nilai dipinggirkan.
Hal ini diperparah oleh sistem pendidikan baru di Indonesia yang terkadang membingungkan pendidik dan lembaga-lembaga pendidikan. Tagline Indonesia Emas 2045 menjadi fokus utama Presiden Prabowo. Tagline ini diindikasikan sesuai dengan paradigma baru dalam sistem pendidikan Prabowo, yakni peningkatan kualitas, pemerataan akses, dan pembangunan karakter. Saya kira ini adalah ambisi positif untuk kemajuan pendidikan.
Masalahnya ialah bagaimana dengan implementasinya? Teknologi yang maju dari pusat sampai daerah nyatanya belum efektif. Masih ada beberapa sekolah di Indonesia Timur yang belum merasakan sekolah menggunakan proyektor dan jaringan yang bagus, serta fasilitas sekolah yang belum lengkap.
Bangun Karakter
Pembangunan karakter murid dan mahasiswa yang sudah terkontaminasi dunia digital membuat para pendidik pusing dan harus kreatif mengubah metode ajar. Ditambah lagi program makan bergizi gratis untuk seluruh wilayah Indonesia. Apakah makan bergizi gratis mampu mengubah sistem pendidikan di Indonesia? Apakah anak-anak bisa melek teknologi, cerdas intelektual, dan bersikap baik hanya karena makan bergizi gratis?
Makan bergizi gratis bukanlah cara mengatasi stunting dan memberantas kebodohan. Justru pemerintah perlu melihat ke dalam diri: siapa terlebih dahulu yang perlu ‘diberi makan’? Jika pemerintah sudah kenyang, perlu memberi ‘makan’ dengan baik kepada masyarakat. ‘Makanan’ yang bergizi idealnya membuat anak-anak semakin cerdas dan bermoral, karena mendukung proses belajar.
Rendah Guna
Jika makan bergizi gratis mengambil dana dari anggaran pendidikan yang seharusnya bisa membangun fasilitas sekolah yang kurang mampu, saya kira program ini sangat tidak berguna. Apakah tidak ada cara lain selain makan bergizi gratis?
Rentetan peristiwa tersebut di atas menunjukkan bahwa terjadinya paradoks dalam sistem pendidikan kita. Momen HARDIKNAS bukan hanya sekadar selebrasi semata, tetapi juga suatu refleksi kritis untuk mengevaluasi kemajuan dan kekurangan sistem pendidikan kita.
Sistem Pendidikan
Sejauh mana sistem pendidikan Indonesia berkembang? Hal ini menjadi pekerjaan rumah bersama, baik dari pemerintah, lembaga pendidikan itu sendiri, maupun orang tua dan murid.
Pendidikan intelektual dan karakter mestinya berjalan bersama agar murid tidak menjadi pribadi yang sombong dan tak beretika. Semua ini butuh kerja keras dari semua pihak. Tanpa keteladanan nyata dari pemerintah dan tokoh masyarakat, pendidikan cerdas dengan tagline 'generasi emas' hanya menjadi wacana semata.
Budaya Integritas
Oleh karena itu, membangun budaya integritas di dunia pendidikan hemat saya menuntut keberanian kolektif untuk memberikan teladan, memperbaiki sistem, dan menumbuhkan ekosistem yang menempatkan etika moral (nilai-nilai) di atas segala bentuk prestasi akademik, kesejahteraan guru, serta sistem-sistem yang ‘lucu’ untuk Indonesia.
Keberanian kolektif, hemat saya pula, dapat membantu negara kita. Maka dibutuhkan ‘revolusi budaya integritas’. Sejatinya, integritas pendidikan kita lahir dari sebuah kesadaran dan kebijaksanaan kritis dalam mendidik, membangun, dan mengorganisasi. (P-3)