
MAHKAMAH Konstitusi (MK) kembali menggelar pengujian norma keterwakilan perempuan yang terdapat dalam UU MD3. Pada sidang perkara No.169/PUU-XXII/2024 tersebut, para ahli dan saksi memberikan keterangan terkait urgensi keterwakilan minimal perempuan 30% di parlemen khususnya pada alat kelengkapan dewan (AKD).
Pakar politik Universitas Indonesia sekaligus Ketua Cakra Wikara Indonesia, Anna Margret Lumban Gaol mengatakan komitmen partai politik terhadap peningkatan dan penguatan keterwakilan perempuan 30% di parlemen khususnya pada alat kelengkapan dewan (AKD) masih sangat lemah dan jauh dari harapan.
“Data pencalonan perempuan di DPR RI dan data keterwakilan perempuan dalam kepengurusan partai politik juga menunjukkan ketidakseriusan partai mengemban amanat kesetaraan gender dalam rentang pemilu 2004-2019,” kata Anna di ruang Sidang Pleno MK pada Selasa (8/7).
Anna menjelaskan penting untuk mendorong minimum keterwakilan 30% perempuan di unsur pimpinan AKD DPR sebagai upaya penguatan keterwakilan perempuan agar memiliki daya lebih untuk ikut serta dalam mempengaruhi proses pembuatan kebijakan di parlemen.
“Sejarah legislasi mencatat sejumlah UU yang dihasilkan saat perempuan berada pada posisi kepemimpinan AKD, diantaranya UU tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga yang dibahas dan disahkan ketika salah satu posisi wakil ketua badan legislasi diisi oleh Ibu Tumbu Saraswati fraksi PDIP,” jelasnya.
Menurut Anna, keterwakilan perempuan yang lebih tinggi di parlemen, termasuk di posisi pimpinan AKD, akan membawa perspektif yang lebih beragam dan inklusif dalam pengambilan keputusan, serta mendorong kebijakan yang lebih adil dan responsif.
Anna lebih lanjut menyinggung sejumlah produk UU pro perempuan yang berhasil disahkan saat perempuan diberi kesempatan menduduki unsur AKD.
“Mulai dari UU KDRT, UU Penyelenggara Pemilu yang mengatur mengenai keterwakilan perempuan minimum 30%, UU Pemberantasan TPPO, UU Penyandang Disabilitas, UU Perlindungan Data Pribadi, UU Kewarganegaraan yang memuat aturan pemberian kewarganegaraan ganda bagi anak dalam perkawinan campuran,” jelasnya.
Selain itu, Anna menilai hakikat kebijakan afirmasi dalam politik sebagai upaya peningkatan keterwakilan perempuan secara kuantitas, harus disandingkan dengan upaya penguatan keterwakilan perempuan mengisi posisi-posisi strategis kepemimpinan.
“Tujuannya untuk menambahkan daya bekerja secara optimal dan bukan sekedar hadir secara simbolik ataupun demi pemenuhan peraturan administratif semata,” jelasnya.
Kebijakan afirmasi lanjut Anna, pada hakikatnya merupakan bentuk koreksi sistemik atas peluang yang tidak setara dan bentuk pemenuhan hak perempuan dalam politik.
“Ini berarti ada komitmen mengoreksi ketertinggalan historis perempuan mengisi posisi strategis kepemimpinan di AKD DPR RI dan distribusi perempuan anggota DPR RI pada seluruh AKD secara berimbang dan merata,” tukasnya.
Sebelumnya, Koalisi Perempuan Indonesia, Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Kalyanamitra, dan Titi Anggraini menggugat norma keterwakilan perempuan dalam dua isu pokok, yaitu pengaturan keterwakilan perempuan di pimpinan AKD dan distribusi anggota perempuan dalam AKD secara proporsional sesuai jumlah anggota perempuan di setiap fraksi.
Para pemohon juga mengusulkan agar ketentuan tersebut diinterpretasikan untuk menciptakan keberimbangan dalam komposisi anggota perempuan di berbagai badan dan komisi di DPR, seperti Badan Musyawarah, Badan Legislasi, dan Badan Anggaran, dengan ketentuan keterwakilan minimal 30%. (Dev/I-1)