Narasi Kehidupan Kiai Sejahtera Jadi Pandangan Keliru karena Mengambil Sudut Pandang Liberal

4 hours ago 1
Narasi Kehidupan Kiai Sejahtera Jadi Pandangan Keliru karena Mengambil Sudut Pandang Liberal Ilustrasi(Dok Lirboyo.net)

KASUBTIM Bina Guru Ma/Mak, GTK, Kementerian Agama, Muhammad Luthfi Ubaidillah, mengatakan bahwa tayangan televisi menampilkan narasi bahwa kehidupan kiai yang tampak sejahtera adalah bentuk eksploitasi dari santri dan masyarakat sekitar. 

“Pandangan ini jelas keliru karena lahir dari sudut pandang liberalisme media yang sering mengukur nilai dengan parameter materialistik, bukan moral dan spiritual. Tradisi pemberian amplop, mencium tangan, atau bahkan berjalan dengan penuh hormat di hadapan kiai ditafsirkan secara negatif tanpa memahami konteks budaya dan religiusnya,” ungkapnya dilansir dari laman Kemenag, Kamis (16/10). 

Menurutnya, dalam tradisi pesantren, tindakan seperti memberi amplop kepada kiai bukan bentuk suap atau praktik feodal, melainkan ekspresi rasa syukur, terima kasih, dan adab terhadap guru. Amplop tersebut seringkali berisi sekadar tanda cinta dan penghormatan, bukan sumber kemewahan atau kekayaan pribadi. Menilai fenomena tersebut dengan lensa kapitalisme sekuler jelas merupakan kesalahan epistemologis yang fatal.

“Budaya pesantren tumbuh dari nilai Islam yang mengagungkan ilmu dan ulama. Kiai dalam sistem pesantren bukan sekadar figur sosial, melainkan simbol penjaga ilmu, akhlak, dan tradisi keislaman. Santri dididik untuk menghormati ilmu dengan menghormati penyampainya. Dalam konteks inilah muncul tradisi seperti tawadhu‘, tabarruk (mencari keberkahan), dan ta‘zim (penghormatan),” kata dia. 

Kebiasaan “ngesot” saat mendekati kiai, misalnya, bukan bentuk perendahan diri secara sosial, melainkan simbol kesopanan dan kesadaran bahwa ilmu yang dimiliki kiai adalah cahaya yang harus dihormati. Begitu pula dengan mencium tangan kiai — hal ini menggambarkan rasa cinta dan penghormatan santri terhadap sumber ilmu, bukan kultus individu.

Kitab klasik Ta‘limul Muta‘allim karya Syekh Az-Zarnuji menjadi rujukan utama di pesantren dalam membentuk karakter santri. Dalam kitab tersebut dijelaskan bahwa keberkahan ilmu sangat bergantung pada adab terhadap guru. Syekh Az-Zarnuji menulis “Barang siapa tidak menghormati gurunya, maka ia tidak akan memperoleh manfaat dari ilmunya.”

Konsep ini menegaskan bahwa ilmu tidak hanya dipahami secara intelektual, melainkan juga spiritual. Karena itu, tindakan-tindakan simbolik seperti memberi hadiah, mencium tangan, atau merendah di hadapan guru bukanlah hal berlebihan, melainkan manifestasi dari adab keilmuan yang mendalam.

Clifford Geertz dalam karyanya The Religion of Java (1960) menilai bahwa pesantren merupakan lembaga keagamaan yang menjaga kesinambungan moral dan spiritual masyarakat Jawa. Geertz menyoroti bahwa hubungan kiai–santri bersifat paternalistik namun penuh kasih dan spiritualitas. Ia memahami bahwa bentuk penghormatan yang tampak “tradisional” justru menjadi inti dari stabilitas moral di masyarakat Muslim Jawa.

Martin van Bruinessen dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat juga mencatat bahwa penghormatan terhadap kiai adalah wujud penghargaan terhadap ilmu dan sumber ajaran Islam. Van Bruinessen menilai budaya santri bukanlah feodalisme, tetapi sebuah etika sosial yang menempatkan guru sebagai pusat moralitas.

Dengan demikian, Geertz dan van Bruinessen justru memperlihatkan pemahaman yang lebih jernih dan objektif dibanding pandangan dangkal media modern yang melihat segala sesuatu dari kacamata profit dan sensasi.

Kesalahan mendasar tayangan Xpose Uncensored Trans 7 terletak pada ketidakmampuan memahami pesantren sebagai entitas budaya, sosial, dan spiritual yang unik. Tayangan tersebut menilai fenomena penghormatan santri kepada kiai dari sudut pandang liberal sekuler yang buta terhadap etika Islam dan nilai adab.

“Untuk itu, media massa semestinya tidak terburu-buru menilai tradisi keagamaan tanpa pendekatan antropologis dan kultural yang mendalam. Setiap praktik sosial, terlebih yang berakar pada ajaran agama, perlu dipahami dari konteks nilai dan maknanya, bukan hanya tampilannya,” tegasnya. 

Sebagaimana pesan Syekh Az-Zarnuji dalam Ta‘limul Muta‘allim, ilmu dan guru tidak dapat dihargai dengan materi, melainkan dengan adab dan penghormatan. Maka, sebelum menuduh kiai hidup mewah dari amplop santri, alangkah baiknya memahami dulu bahwa amplop itu bukan alat memperkaya, melainkan simbol cinta dan keberkahan. (H-2)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |