
MENTERI Koordinator Bidang Politik dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan merespons kritikan terhadap Revisi Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Budi menegaskan RUU TNI bukan untuk dwifungsi ABRI seperti yang dikhawatirkan masyarakat.
Budi Gunawan menerangkan hanya tiga pasal yang diubah dalam RUU TNI. Pertama, Pasal 3 terkait kedudukan dan koordinasi TNI di bawah kementerian pertahanan. Kedua, Pasal 53 yang mengatur tentang usia pensiun dari 55 hingga 65 tahun.
"Yang ketiga, Pasal 47 yang mengatur tentang jabatan di kementerian lembaga yang dapat diisi oleh prajurit TNI yang aktif, karena pada praktiknya banyak prajurit TNI yang selama ini memang diperbantukan karena keahlian dan kebutuhannya di beberapa kementerian karena keahliannya dan kebutuhannya," kata Budi Gunawan di Lapangan Bhayangkara, Jakarta Selatan, Senin (17/3).
Budi mencotohkan seperti penempatan prajurit TNI di Basarnas. Menurutnya, melalui Revisi UU TNI, justru memberi batasan yang lebih jelas terkait penempatan tersebut.
Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) ini menyebut saat ini terdapat pembahasan wacana pengaturan penugasan TNI dari 10 kementerian lembaga menjadi 16. Yaitu di Polkam, Kementerian Pertahanan, Dewan Pertanahan Negara, Sekretariat Negara, Intelijen, Sandi Negara, Lemhanas, SAR, dan Badan Narkotika Negara.
Kemu, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut, Kejaksaan Agung, dan Mahkamah Agung.
"Pemerintah sekali lagi menegaskan bahwa Revisi UU TNI ini tidak dimaksudkan mengembalikan TNI pada dwifungsi militer seperti masa lalu. Jadi tegasnya seperti itu, jangan khawatir akan hal itu."
Budi memastikan tujuan RUU TNI murni untuk menyesuaikan kebutuhan zaman. Agar, kata dia, profesionalisme TNI semakin meningkat, utamanya dalam menjalankan tugas pokoknya di bidang pertahanan negara.
"Sekaligus menyesuaikan peran TNI ke depan sesuai kebutuhan perkembangan zaman, khususnya seperti dalam situasi darurat bencana," pungkas Menko Polkam.
Sebelumnya, pembahasan RUU TNI yang berlangsung di Hotel Fairmont Jakarta pada akhir pekan, 14-15 Maret 2025 menuai kritikan tajam karena dianggap tidak transparan dan minim partisipasi publik.
Koalisi Masyarakat Sipil untuk Reformasi Sektor Keamanan, yang terdiri dari 20 kelompok masyarakat sipil, menyatakan bahwa pembahasan RUU TNI berpotensi menghidupkan kembali dwifungsi ABRI.
Direktur Imparsial Ardi Manto Adiputra menilai perluasan penempatan prajurit TNI aktif di jabatan sipil berpotensi melemahkan profesionalisme militer dan mengancam supremasi sipil. Pernyataan ini disampaikan Ardi dalam keterangan tertulis pada Sabtu (15/3).
Salah satu poin kontroversial dalam RUU TNI adalah perubahan pada Pasal 47. Dalam UU No. 34 Tahun 2004, Pasal 47 ayat (1) menyatakan bahwa prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif.
Namun, dalam RUU TNI terbaru, ketentuan ini diubah menjadi prajurit aktif dapat menduduki jabatan di kementerian dan lembaga negara, termasuk kantor yang membidangi politik dan keamanan negara, pertahanan negara, sekretaris militer presiden, intelijen negara, sandi negara, Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas), Dewan Pertahanan Nasional, Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (SAR), Badan Narkotika Nasional (BNN), dan Mahkamah Agung.
Mengutip RUU TNI, Pasal 47 ayat (2) menyebutkan, "Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian Prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden." (Yon/P-2)