
KETUA Komisi I DPR RI, Utut Adianto, menegaskan bahwa ketentuan terkait Operasi Militer Selain Perang (OMSP) dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 tentang TNI (UU TNI) tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Hal itu disampaikan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menanggapi permohonan sejumlah pihak yang mempermasalahkan pasal 7 ayat (2) huruf b UU TNI.
Menurut Utut, substansi Pasal 7 UU TNI 2025 yang mengatur OMSP justru menegaskan fungsi pertahanan negara sebagai salah satu pilar utama pemerintahan. Ia menyebut, konsep OMSP merupakan bagian integral dari upaya menjaga kedaulatan dan keutuhan negara di era ancaman multidimensi.
“OMSP mencerminkan pergeseran doktrin pertahanan modern. TNI tidak hanya berfungsi untuk berperang, tetapi juga menjalankan operasi yang bersifat pencegahan, penyelesaian konflik, bantuan kemanusiaan, dan penanggulangan bencana,” jelas Utut di ruang sidang MK Jakarta, pada Kamis (9/10)
Ia menambahkan bahwa operasi semacam itu tidak hanya dilakukan oleh negara-negara berkembang, melainkan juga menjadi standar global dalam menghadapi ancaman non-militer yang terus berkembang.
“OMSP menuntut sinergi antara kekuatan militer dan lembaga lain seperti diplomasi, ekonomi, pemerintahan, bahkan keagamaan demi ketahanan nasional,” ujarnya.
Utut juga menjelaskan bahwa perubahan dalam UU TNI terbaru hanya menambahkan dua bentuk OMSP baru, yaitu penanggulangan ancaman pertahanan siber dan perlindungan serta penyelamatan warga negara di luar negeri.
“Selain itu, bentuk OMSP lainnya tetap sama seperti yang telah diatur sejak UU TNI 2004,” katanya.
Menanggapi keberatan pemohon terhadap Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 yang menyebut “membantu tugas pemerintah di daerah”, Utut menilai kekhawatiran tersebut tidak beralasan.
“Ketentuan ini sebenarnya sudah ada dalam regulasi lama, seperti UU Nomor 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial dan Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2011 tentang Tugas Bantuan TNI,” ujarnya.
Ia menegaskan, frasa ‘mengatasi masalah akibat pemupukan’ bukanlah bentuk pembatasan hak konstitusional warga negara, melainkan untuk memperjelas peran TNI yang bersifat membantu secara terbatas dan proporsional atas permintaan pemerintah daerah, khususnya ketika pemupukan konflik sosial mengganggu pelayanan publik.
Dalam konteks pertahanan siber, DPR menilai pelibatan TNI adalah bagian dari tugas konstitusional dalam menjaga kedaulatan negara, hal itu mengacu pada Peraturan Menhan Nomor 82 Tahun 2014 tentang Pedoman Pertahanan Siber.
“Peran TNI dalam pertahanan siber bersifat strategis, bukan represif. Ancaman siber bersifat multidimensional dan bisa mengancam sektor pertahanan nasional,” kata Utut.
Tak Ganggu Supremasi Sipil
Utut juga menekankan bahwa pelibatan militer dalam pertahanan siber tidak akan mengganggu prinsip supremasi sipil. Menurutnya, supremasi sipil tetap menjadi dasar dalam hubungan sipil-militer di Indonesia.
“Jarum jam tidak bisa ditarik mundur. Supremasi sipil harus tetap dijaga dalam sistem demokrasi, di mana kekuasaan politik berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih rakyat, yakni presiden,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa upaya mempertentangkan sipil dan militer hanya akan menimbulkan dikotomi dan kecurigaan yang merusak sistem check and balance serta stabilitas politik dan pemerintahan.
“Konsep supremasi sipil dan hubungan antara sipil militer perlu dilakukan dalam rangka penyeimbangan dan tidak boleh dimaknai sebagai hegemoni dari salah satu komponen bangsa di atas komponen bangsa yang lain,” ucapnya.
Utut menilai, supremasi sipil dalam sistem demokrasi menegaskan bahwa kekuasaan politik berada di tangan pemimpin sipil yang dipilih oleh rakyat yakni presiden.
“Sementara sistem militer berfungsi sebagai alat negara untuk menjaga pertahanan bukan pembuat kebijakan,” tegas Utut.
Atas dasar itu, Utut menekankan bahwa Pasal 7 ayat (2) huruf b angka 9 dan angka 15 UU TNI 2025 tidak bertentangan dengan konstitusi.
“Semua ketentuan itu justru memperkuat sistem pertahanan negara tanpa menyalahi prinsip demokrasi dan supremasi sipil,” tandasnya.
Utut juga menjelaskan bahwa secara hukum, DPR menilai para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) yang kuat karena tidak ada hubungan sebab akibat antara kerugian yang didalilkan dengan pasal yang diuji.
“Namun demikian, kami menyerahkan sepenuhnya kepada Majelis Hakim Konstitusi untuk mempertimbangkan dan menilai apakah para pemohon memiliki kedudukan hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 51 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi,” ujarnya. (H-3)