UU Cipta Kerja Banyak Digugat ke MK, Pengamat: Cermin Hukum Elitis

2 hours ago 1
 Cermin Hukum Elitis Gedung MK di Jakarta .(Antara)

PAKAR hukum tata negara Herdiansyah Hamzah menilai maraknya judicial review atau gugugat terhadap Omnibus Law Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK), disebabkan oleh proses legislasi yang terburu-buru, minim partisipasi publik, dan pendekatan omnibus yang menyatukan banyak aturan berbeda bidang dalam satu undang-undang.

“Problem utama Undang-Undang Cipta Kerja dengan pendekatan omnibus ini karena dia menyasar banyak aturan-aturan yang tidak serumpun. Bahkan kalau kita lihat, ada 11 klaster di dalamnya, yang dijahit sana-sini tanpa keterkaitan satu sama lain,” ujar Herdiansyah, Kamis (16/10).

Menurutnya, pendekatan omnibus sebenarnya tidak dilarang sepanjang digunakan untuk mengatur hal-hal yang sejenis. Namun, UU Cipta Kerja justru menggabungkan beragam sektor mulai dari ketenagakerjaan, lingkungan, hingga investasi dalam satu paket besar yang sulit dipahami bahkan oleh para pembuatnya sendiri.

“Saya yakin betul, jangankan publik, orang-orang di DPR dan pemerintah yang membuat undang-undang ini saja tidak membaca seluruhnya. Isinya tebal, 1.187 halaman. Karena itu, dari awal kita sudah kritik bahwa pendekatan omnibus dalam UU Cipta Kerja tidak tepat,” tegasnya.

Herdiansyah juga menilai bahwa metode omnibus di Indonesia cenderung “ugal-ugalan” karena dilakukan secara terburu-buru dan tidak membuka ruang partisipasi publik yang memadai.

“Logikanya, sesuatu yang dikejar cepat itu pasti tidak maksimal. Akhirnya memotong proses partisipasi publik. Bahkan, kritik terhadap undang-undang ini seolah dianggap tabu karena bisa menghambat proses percepatan itu,” ujarnya.

Ia menambahkan, absennya partisipasi publik dalam proses legislasi menjadi faktor utama mengapa banyak undang-undang termasuk Cipta Kerja akhirnya digugat ke MK.

“Selama partisipasi publik dihindari, selama itu pula MK akan menjadi keranjang sampah bagi produk legislasi yang buruk. Karena pembentuk undang-undang tidak melibatkan masyarakat yang terdampak,” kata Herdiansyah.

Mengutip teori partisipasi Sherry Arnstein, Herdiansyah menjelaskan bahwa Indonesia saat ini masih berada pada level 'partisipasi manipulatif', di mana masyarakat hanya dilibatkan secara simbolis tanpa memiliki kuasa nyata.

“Arnstein menyebut level tertinggi sebagai citizen power, tapi yang terjadi di kita justru partisipasi manipulatif. Diskusi pembahasan undang-undang dilakukan di ruang tertutup di antara elite politik, bahkan kadang disusupi kepentingan kelompok pengusaha,” ujarnya.

Herdiansyah juga menyinggung bahwa sebagian besar anggota DPR berasal dari kalangan pengusaha, sehingga arah kebijakan undang-undang cenderung memihak kelompok pemodal dan mengabaikan kepentingan publik.

“Kalau kita lihat datanya, sekitar 55% anggota DPR punya latar belakang sebagai pengusaha atau terafiliasi dengan dunia bisnis. Jadi wajar kalau karakter undang-undang yang lahir lebih berpihak kepada kelompok oligarki ketimbang kepentingan rakyat,” jelasnya.

Untuk memperbaiki situasi ke depan, Herdiansyah mengusulkan agar pemerintah dan DPR menyusun undang-undang khusus tentang partisipasi publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Selama partisipasi belum menjadi norma hukum yang mengikat, kualitas undang-undang kita akan selalu buruk. Karena itu, perlu ada undang-undang yang memastikan publik terlibat sejak tahap perencanaan hingga pengundangan,” pungkasnya. (Dev/P-2) 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |