Putusan MK Soal Masyarakat Adat tak Bisa Dikriminalisasi lewat UU Cipta Kerja Jadi Angin Segar

2 hours ago 1
Putusan MK Soal Masyarakat Adat tak Bisa Dikriminalisasi lewat UU Cipta Kerja Jadi Angin Segar Aksi Masyarakat Adat Menggugat PSN di Gedung MK.(Dok. Antara)

PEGIAT lingkungan sekaligus Manajer Advokasi Pantau Gambut, Wahyu Perdana, menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.181/PUU-XXII/2024 terkait masyarakat adat yang tidak bisa dikriminalisasi atau dikenakan norma pidana dalam Undang-Undang Cipta Kerja, menjadi sinyal positif bagi perlindungan masyarakat adat dan kelestarian lingkungan.

Ia menyebut, keputusan MK sejalan dengan putusan-putusan sebelumnya yang menegaskan bahwa pengakuan negara terhadap masyarakat adat bersifat deklaratif, bukan konstitutif.

Putusan MK ini sebenarnya tidak mengejutkan. Sejak periode sebelumnya, MK sudah menegaskan bahwa pengakuan negara terhadap wilayah adat itu bersifat deklaratif. Artinya, tindakan dan penegakan hukum terhadap masyarakat adat tidak bisa disamakan dengan korporasi,” ujar Wahyu pada Kamis (16/10).

Menurut Wahyu, pendekatan hukum terhadap masyarakat adat sudah seharusnya dibedakan dari korporasi, karena secara prinsip, masyarakat adat tidak memiliki struktur badan hukum seperti perusahaan.

Dalam konteks hukum lingkungan, kata dia, penegakan hukum terhadap korporasi seharusnya menyasar badan hukumnya dan juga para pengurusnya.

“Dalam konteks korporasi, Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) memungkinkan penegakan hukum menyasar badan hukum dan direksi. Jadi pengurus korporasi juga bisa dimintai pertanggungjawaban hukum,” jelasnya.

Wahyu menilai, putusan MK terbaru ini sekaligus menjadi peringatan bagi pemerintah dan DPR agar tidak lagi membuat kebijakan secara terburu-buru seperti yang terjadi pada Undang-Undang Cipta Kerja.

“MK sebelumnya sudah menyatakan bahwa UU Cipta Kerja itu inkonstitusional bersyarat, artinya pembentuk kebijakan wajib memenuhi prinsip-prinsip konstitusi yang tidak bisa dinegosiasikan,” tegas Wahyu.

Ia juga menyoroti pentingnya pengakuan negara terhadap pengetahuan lokal masyarakat adat, khususnya yang hidup di ekosistem rentan seperti gambut. Menurutnya, pengetahuan masyarakat yang turun-temurun itu merupakan bagian penting dari tata kelola lingkungan.

“Masyarakat adat yang hidup turun-temurun di ekosistem gambut memiliki pengetahuan lokal yang tidak bisa diabaikan. Jadi pengakuan negara terhadap mereka bukan sesuatu yang bisa dikalahkan demi kepentingan konsesi atau korporasi,” kata Wahyu.

Lebih jauh, ia menyoroti tumpang tindih kawasan antara wilayah adat dan konsesi perusahaan, terutama di sektor kehutanan dan perkebunan sawit.

Berdasarkan hasil analisis Pantau Gambut bersama sejumlah lembaga, terdapat sedikitnya 3,3 juta hektare kebun sawit ilegal di kawasan hutan, dengan 400 ribu hektare di antaranya berada di kesatuan hidrologis gambut (KHG).

“Angka itu mengkhawatirkan karena meningkatkan risiko bencana ekologis seperti kebakaran hutan dan banjir di ekosistem gambut. UU Cipta Kerja bahkan membuka ruang pemutihan untuk konsesi ilegal di kawasan hutan,” ujarnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |