WAKIL Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Heru Dewanto menyatakan, iklim sosial di Indonesia belum dapat mendukung penciptaan mesin pertumbuhan yang berkelanjutan.
"Dunia usaha kita lebih suka mendaur ulang old money. Dimulai dari ekstraksi minyak bumi hingga menjadi net importer, dilanjutkan dengan membabat hutan, lalu kelapa sawit, mengeruk batu bara dan sumber daya mineral lainnya," ujarnya dikutip dari keterangan pers, Senin (3/3).
Menurutnya untuk mencapai Indonesia Emas 2045, negara harus beralih ke inovasi dan aplikasi teknologi baru yang dapat menghasilkan new money melalui mesin ekonomi baru.
"Hanya dengan begitu kita bisa mencapai Indonesia Emas 2045, karena nyatanya setelah 30 tahun lebih sejak kita masuk kelompok middle income country di tahun 1993, mesin-mesin ekonomi lama belum juga mampu mengangkat Indonesia keluar dari jebakan untuk menjadi negara maju," jelasnya.
Heru menyampaikan salah satu mesin ekonomi yang diandalkan untuk mencapai kemajuan adalah industrialisasi dan hilirisasi. Berkaca dari sejarah, keberhasilan negara-negara maju amat bergantung pada peran industri dan melakukan penghiliran secara cermat. Menurutnya langkah yang paling logis ialah memulai penghiliran pada komoditas-komoditas unggulan Indonesia, seperti nikel yang menduduki peringkat pertama, bauksit peringkat keenam, dan timah peringkat kedua di dunia.
Heru menekankan, hal yang lebih penting ialah menjadikan komoditas unggulan sebagai keunggulan kompetitif dengan pemilihan teknologi yang tepat. Namun, dia juga menekankan penggunaan teknologi ekstraksi nikel menggunakan High Pressure Acid Leaching (HPAL) yang banyak dikritisi karena limbah B3-nya yang jauh melebihi jumlah bahan baku (feeding). Karenanya, dia menyarankan untuk mengembangkan teknologi alternatif yang lebih ramah lingkungan, seperti baterai berbasis LFP, hidrogen, dan Sodium Ion.
"Dunia mulai beralih menggunakan teknologi baterai lain seperti litium ferro phosphat (LFP), hidrogen dan Sodium Ion," ujar Heru.
Selain itu, dia menyampaikan teknologi ekstraksi bauksit yang masih menggunakan metode Karl Joseph Bayer sejak tahun 1888, yang menghasilkan limbah B3 berupa red mud, juga memerlukan solusi teknologi baru yang lebih ramah lingkungan. Menurutnya teknologi ekstraksi yang lebih ramah lingkungan akan menjadi kunci untuk memastikan Indonesia tetap menjadi pemain utama dalam industri baterai dunia berbasis nikel dan tanpa perubahan teknologi, akan bisa kehilangan peluang besar.
Untuk itu ia mendorong semua pihak, terutama pemerintah, harus memberikan dukungan penuh kepada para pelaku inovasi.
"Di Indonesia, dan mungkin juga di beberapa negara lain, kalau seorang inovator gagal dalam sebuah upaya komersialiasi inovasi maka sudah dapat dibayangkan dampaknya buat reputasi nya sebagai seorang inovator," kata Heru.
"Para penyandang dana akan menjauh dan komunitas diseputaran inovasi tersebut akan menilainya sebagai seorang yang gagal. Lebih buruk lagi, beberapa inovator bahkan dapat menghadapi masalah hukum terkait inovasi mereka, yang berpotensi merugikan negara," pungkasnya. (E-4)