Aksi Mogok Ojek Daring Berpotensi Hilangkan Rp188 Miliar dalam Sehari

6 hours ago 1
Aksi Mogok Ojek Daring Berpotensi Hilangkan Rp188 Miliar dalam Sehari Ojol masih banyak yang menjalankan operasional saat mogok nasional ojol pada Selasa (20/5/2025).(MI/Ramdani)

LEMBAGA Riset Institute for Demographic and Affluence Studies (IDEAS) memperkirakan aksi mogok nasional yang dilakukan para pengemudi ojek daring pada Selasa (20/5) berpotensi menyebabkan hilangnya perputaran uang hingga Rp188 miliar dalam satu hari. 

Estimasi itu dihitung dari potensi penurunan aktivitas sektor ride-hailing hingga 50% akibat aksi mogok serentak yang dilakukan di berbagai kota besar.

"Nilai transaksi harian sektor ride-hailing diperkirakan mencapai Rp375,89 miliar. Jika aktivitas turun separuh saja, artinya ada hampir Rp188 miliar yang tidak berputar dalam satu hari dan ini belum menghitung efek berantai ke sektor lainnya," ujar Peneliti IDEAS Muhammad Anwar melalui keterangannya, Rabu (21/5).

Dia menjelaskan, sepanjang 2024, total Gross Transaction Value (GTV) dari layanan Gojek (GoRide, GoFood, GoSend) mencapai Rp63,04 triliun. Sementara itu, GTV Grab secara global (di enam negara Asia Tenggara) tercatat sebesar US$ 18,4 miliar atau Rp293 triliun (kurs Rp16.000 per US$). 

"Jika diasumsikan kontribusi pasar Indonesia terhadap total GTV Grab global adalah sebesar 20%, maka estimasi GTV Grab Indonesia tahun 2024 adalah sekitar Rp58,75 triliun," ungkap Anwar.

Di luar dua pemain utama tersebut, terdapat sejumlah aplikasi ride-hailing lain seperti Maxim, inDrive, Anterin, Nujek, dan sebagainya. Dengan asumsi kontribusi aplikasi-aplikasi ini sekitar 10% dari total pasar, maka GTV kolektif mereka diperkirakan mencapai sekitar Rp13,53 triliun.

"Berdasarkan data tersebut, maka nilai total transaksi (GTV) industri ride-hailing di Indonesia tahun 2024 diperkirakan mencapai sekitar Rp135,32 triliun, atau jika diratakan menjadi Rp375,89 miliar perhari," kata Anwar.

Dampak aksi mogok dianggap tak hanya mengguncang angka, tetapi juga langsung dirasakan oleh berbagai sektor. Pertama, UMKM dan pedagang kuliner yang mengandalkan layanan pesan antar seperti GoFood dan GrabFood mengalami penurunan pesanan yang signifikan. 

"Bagi warung kecil, arus kas harian adalah urat nadi. Jika terganggu, maka keberlanjutan usaha mereka ikut terancam," jelas Anwar.

Kedua, masyarakat umum, terutama pekerja harian dan pelajar di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan, menghadapi kesulitan mobilitas. Transportasi publik yang belum terintegrasi secara sempurna membuat ojek online masih menjadi tulang punggung mobilitas perkotaan.

"Ketiga, sektor logistik skala kecil seperti pengiriman barang dan dokumen mendesak lewat GoSend dan GrabExpress juga terganggu. Banyak usaha mikro dan individu yang menggantungkan aktivitas usahanya pada layanan ini," tutur Anwar.

Keempat, aksi tersebut menciptakan risiko reputasi serius bagi perusahaan platform digital. "Mereka menggantungkan keberlanjutan bisnis pada jaringan pengemudi yang luas. Tapi ketika mitra merasa tidak dihargai, tidak dilindungi, dan tidak diberi kejelasan soal algoritma penghasilan, maka keberlanjutan model bisnis itu sendiri terancam," lanjut Anwar.

Aksi mogok juga dipandang sebagai refleksi dari ketimpangan relasi kuasa antara perusahaan platform digital besar dan para mitra pengemudi yang faktanya bekerja seperti karyawan tetap, namun tanpa perlindungan hukum layaknya pekerja formal.

"Tanpa regulasi yang adil dan berpihak, digitalisasi hanya akan menjadi kelanjutan dari eksploitasi ekonomi lama dengan wajah baru. Negara tidak boleh diam melihat jutaan pengemudi dibiarkan tanpa kepastian dan perlindungan," pungkas Anwar. (E-4)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |