Ahli HTN Sebut MK Dapat Kembangkan Tes Partisipasi Bermakna untuk Menilai Prosuderal UU TNI

4 hours ago 4
Ahli HTN Sebut MK Dapat Kembangkan Tes Partisipasi Bermakna untuk Menilai Prosuderal UU TNI Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta.(MI/Devi Harahap)

GURU Besar Hukum Tata Negara Universitas Padjadjaran, Susi Dwi Harijanti mengatakan Mahkamah Konstitusi (MK) dapat mengembangkan tes guna memastikan apakah pembentukan UU TNI telah memenuhi asas partisipasi yang bermakna atau tidak.

Susi sebagai Ahli yang dihadirkan Pemohon Perkara Nomor 69/PUU-XXIII/2025 dalam sidang pengujian formil UU TNI menjelaskan bahwa pengalaman MK di Afrika Selatan layak untuk dipertimbangkan saat menjatuhkan putusan pada perkara Doctors for Life tahun 2006 dengan mengembangkan ‘meaningful involvement test’.

“Saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk mengembangkan sebuah tes dengan membangun kriteria-kriteria guna memastikan partisipasi bermakna terpenuhi secara konkret sesuai dengan Putusan Mahkamah Nomor 91 (91/PUU-XVIII/2020),” kata Susi di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta pada Senin (7/7). 

Aturan Main?

Menurut Susi, Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 memaksa pembentuk undang-undang mengatur tiga hak-hak prosedural dalam pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 UU P3, yang dikenal sebagai hak untuk didengar,  dipertimbangkan dan mendapatkan penjelasan. 

“Jika seluruh prosedur pembentukan dilaksanakan secara terbuka dan akuntabel, maka hasil pengujian formil akan mampu meningkatkan kepercayaan publik terhadap hukum dan lembaga-lembaga negara,” jelasnya. 

Perlu Pemeriksaan?

Susi menuturkan pengujian formil harus melibatkan pemeriksaan tahapan-tahapan pembentukan undang-undang, seperti dengar pendapat, diskusi pendalaman, perdebatan yang keseluruhannya secara prinsip dilakukan secara terbuka dan melibatkan masyarakat. 

“Pemeriksaan mendalam ini dapat mengungkap kelemahan-kelemahan mendasar yang pada gilirannya akan memperbaiki prosedur pembentukan undang-undang di masa mendatang,” tukasnya. 

Pengujian Formil?

Selain itu, pengujian formil dapat menjamin undang-undang tidak dibuat dengan cara-cara yang melanggar hak-hak fundamental, seperti hak mengikuti dengar pendapat yang adil, hak untuk berekspresi dan berpendapat yang keseluruhannya dikualifikasi sebagai hak-hak prosedural pembentukan peraturan perundang-undangan.

“Secara teori, hak-hak prosedural ini dikenal sebagai ‘pintu pembuka’ atau ‘pintu gerbang’ berdasarkan the gateway theory, bagi pemenuhan hak-hak substantif,” kata Susi. 

Partisipasi Bermakna?

Selain itu, Susi menuturkan pasal 96 Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU P3) dapat menjadi batu uji yang digunakan oleh Mahkamah untuk menilai apakah prosedur pembentukan UU TNI telah memenuhi partisipasi yang bermakna atau tidak.

“Pengembangan tes partisipasi bermakna dimaksud perlu dilakukan mengingat UU P3 tidak mengatur secara rinci bagaimana pembentuk undang-undang harus melaksanakan Pasal 96 tersebut,” tukasnya. 

Harus Transparan?

Di samping itu, Susi menuturkan ketika suatu undang-undang dibentuk melalui prosedur yang adil dan transparan, maka undang-undang tersebut cenderung mendapatkan legitimasi dari masyarakat. Sebaliknya, jika undang-undang dibuat melalui prosedur yang cacat maka akan dinilai sebagai tidak legitimate dan menghadapi penolakan yang cukup serius.

“Ketika terjadi pembahasan RUU TNI, demonstrasi terjadi secara luas di seluruh wilayah Indonesia, dan disertai dengan beragam pendapat dan opini dari para ahli berbagai latar belakang ilmu. Penolakan tersebut pada akhirnya mampu memaksa pembentuk undang-undang untuk membuka diri terhadap pendapat atau masukan dari masyarakat,” tegasnya 

Belum Jelas?

Akan tetapi, menurut Susi, pembentuk undang-undang belum sepenuhnya memberikan penjelasan terhadap masukan tersebut.

“Terjadi gap yang jauh antara keberterimaan secara rasional dari pembentuk undang-undang dan masyarakat,” kata Susi.

Prosedur Akuntabel?

Dia juga mengatakan pengujian formil dapat membantu mencegah terjadinya penyalahgunaan wewenang untuk membuat undang-undang yang memberikan ‘keuntungan’ untuk kelompok-kelompok tertentu atau didesain untuk ‘membungkam perbedaan pendapat’.

Menurutnya, dengan menegakkan prosedur yang akuntabel, pengujian formil dapat digunakan sebagai mekanisme checks terhadap potensi penyalahgunaan wewenang.

“Mahkamah Konstitusi dalam hal ini memainkan peran sebagai ‘judicial control of parliamentary procedure’ yaitu sebagai pengawas terhadap prosedur yang dijalankan oleh lembaga legislatif,” tutur Susi.

Draf Asli?

Sementara itu, Pemohon pada persidangan kali ini juga menghadirkan Rhido Anwari Arifin, Wakil Ketua Badan Eksekutif Keluarga Mahasiswa Universitas Padjajaran (BEM Kema Unpad) sebagai Saksi. 

Rhido mengatakan sejak awal Februari 2025 pihaknya memantau perkembangan legislasi RUU TNI untuk keperluan kajian, tetapi hingga menjelang pengesahan RUU tersebut tidak ditemukan adanya unggahan draf RUU maupun Naskah Akademik yang dapat diunduh secara publik dari situs resmi DPR.

“Sepanjang periode Februari hingga Maret 2025, tidak pernah tersedia akses publik yang wajar terhadap draf dan Naskah Akademik RUU Perubahan UU TNI secara resmi, yang bertentangan dengan prinsip transparansi legislasi dalam negara hukum yang demokratis,” ujar Rhido. (Dev/P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |