
HUBUNGAN antara masyarakat sipil dan negara ibarat gelombang yang mengalami pasang surut. Setelah rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto tumbang pada Mei 1998, masyarakat mulai menikmati kebebasan berekspresi, meski belum dapat dikatakan bebas sepenuhnya.
Namun, cita-cita reformasi sebagaimana yang didambakan justru mengalami kemunduran belakangan ini. Peneliti Lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Bangkit A Wiryawan, mengatakan bahwa represi negara terhadap masyarakat mulai terasa lagi sejak 10 tahun terakhir.
"Ada periode saat negara itu tidak terlalu represif terhadap rakyatnya, ada periode kecenderungan lebih represif dalam 10 tahun terakhir," jelasnya dalam diskusi bertajuk Membangun Resiliensi Masyarakat Sipil Setelah 27 Tahun Reformasi di Jakarta, Rabu (21/5).
Adaptasi pada Internet?
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan LP3ES, Bangkit menjelaskan, adaptasi terhadap internet yang dilakukan organisasi masyarakat sipil (OMS) di Indonesia sudah cukup baik secara umum. Itu terejawantah dari bagaimana OMS sadar terhadap hak digital warga negara.
Salah satu kesimpulan dari survei LP3ES yang paling menonjol adalah terdapat dua pola serangan digital terhadap OMS di Indonesia. Pola pertama adalah serangan urban yang menimpa OMS di kota besar yang perkembangan tekonologinya terbilang tinggi, misalnya Jawa Barat, Jakarta, dan Jawa Tengah.
Daerah Rawan Serangan?
Kendati demikian, pengadopsian teknologi oleh OMS yang berada di daerah dengan koneksivitas internet buruk juga memungkinkan serangan terjadi. Dengan demikian, serangan terhadap OMS makin meluas ke daerah, tidak hanya terpusat di kota-kota besar saja.
"Pola yang kedua yang menarik ada wilayah-wilayah provinsi-provinsi yang kaya sumber daya alam, misalnya Kalimantan Timur, Maluku, Papua, mereka juga mengalami serangan digital yang cukup tinggi," jelasnya.
Aktor Serangan?
Adapun dasar serangan itu terjadi karena OMS pada daerah tertentu memiliki aktivisme digital yang khas. Kalimantan Timur dan Maluku, misalnya, lebih mengangkat isu pertambangan, sementara OMS di Papua tak terlepas dengan aktivisme digital yang diwarnai dengan sejarah konflik panjang.
Kendati demikian, Bangkit menyebut, sebagian besar OMS tidak dapat mengidentifikasi aktor di balik serangan digital. Kendati demikian, dugaan besarnya adalah keterlibatan aktor negara atau yang terkait dengan negara maupun pendengung. (Tri/P-3)