
PARA jaksa dan imigran menggugat Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi dan UU Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik Dalam Pidana ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Kamis (6/3). Dalam Sidang Perbaikan Permohonan tersebut, para pemohon mempersoalkan sejumlah pasal dalam UU tersebut.
Berbagai pasal itu pada dasarnya mengatur prosedur administratif ekstradisi yang melibatkan berbagai pihak. Sementara pada UU Bantuan Timbal Balik, para Pemohon menguji Pasal 1 angka 10 yang berbunyi “Menteri adalah Menteri yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia.”
Kuasa hukum para Pemohon, Viktor S. Tandiasa menyampaikan, pemisahan tegas antara fungsi transmitting authority dan competent authority dalam bantuan hukum timbal balik serta permintaan ekstradisi dari dan kepada pemerintah, menyebabkan penanganan kasus ekstradisi harus melewati birokrasi yang panjang dan tidak sesuai dengan pembentukan central authority.
“Untuk melancarkan proses kerjasama penegakan hukum, hal tersebut mengakibatkan penyelesaian penanganan perkara tindak pidana menjadi kurang optimal,” katanya di ruang sidang MK pada Kamis (6/3).
Viktor juga menyampaikan pokok-pokok perbaikan permohonan. Salah satunya adanya penambahan pemohon yakni Donalia Faimau (Pemohon VI), yang menjadi Pekerja Migran Indonesia di Malaysia selama dua tahun. Namun ia dipindahkan bekerja oleh majikannya ke Australia, tetapi tidak dengan visa bekerja.
Singkatnya, Donalia dalam kasus hukumnya tidak dapat pulang ke Indonesia (Kupang) dan bahkan tidak dapat berkomunikasi dengan keluarga. Selain itu, ia tidak mendapatkan keadilan dan haknya atas kasus penuntutan hukum yang terjadi di Australia karena status pekerjanya tersebut.
“Para Pemohon juga menambahkan argumentasi tentang kedudukan Menteri Hukum dan HAM sebagai central authority dalam pelaksanaan ekstradisi; kedudukan kejaksaan dalam struktur ketatanegaraan sebagai pejabat pemilik perkara dalam sistem peradilan pidana; perkembangan dan kinerja Kejaksaan periode 2014 – 2024, dan elaborasi terkait lembaga pelaksana central authority dalam beberapa negara; serta kedudukan Polri, KPK dalam masalah central authority,” jelas Viktor.
Dalam petitum perbaikan, para Pemohon meminta Pasal yang digugat tersebut dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Sementara untuk Pasal 1 angka 10 UU 1/2006 bertentangan dengan UUD 1945 secara bersyarat dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, sepanjang tidak dimaknai: “Menteri adalah Jaksa Agung”.
Ketidakpastian hukum
Dalam Sidang Pendahuluan pada Selasa (24/12) lalu, salah satu pemohon selaku jaksa dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab, sering mengurus permintaan ekstradisi incoming dan outgoing. Sehingga pihaknya mengalami hambatan dan kendala akibat berlakunya ketentuan durasi waktu pemrosesan permintaan bantuan hukum timbal balik.
Dalam kasus konkret, pemohon diminta untuk memfasilitasi satuan kerja teknis dalam penanganan perkara tindak pidana khusus, yakni mengidentifikasi bukti berupa bank notes yang diduga mata uang dolar Amerika Serikat atas kepemilikan uang senilai 3,3 juta USD dari Argentina.
Merujuk pada Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 12 Tahun 2022 tentang Penanganan Bantuan Timbal Balik dalam Masalah Pidana, disebutkan waktu pemrosesan permintaan bantuan timbal balik dimulai dari tahap penerimaan permohonan hingga tahap pemenuhan bantuan dan pemberian umpan balik.
Dalam pokok permohonannya, Pemohon mendalilkan pasal-pasal tersebut menempatkan Menteri Kehakiman sebagai central authority dalam pelaksanaan ekstradisi. Hal ini dinilai para Pemohon bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 ayat (3), Pasal 17 ayat (3), Pasal 24 ayat (3), dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
“Mestinya, ekstradisi dan bantuan timbal balik dalam masalah pidana menjadi urusan penegakan hukum yang menjadi domain badan lainnya yang berkaitan dengan kekuasaan kehakiman seperti Kejaksaan,” katanya.
Akibatnya, norma ini secara konstruksi menimbulkan ketidakpastian hukum dan tidak sesuai dengan negara hukum karena pada saat ini nomenklatur Menteri Kehakiman Nomor 1/1979 dan Menteri Hukum dan HAM dalam UU 1/2006 telah bertransformasi menjadi tiga kementerian, yakni Kementerian Hukum, Kementerian HAM, dan Kementerian Imigrasi dan Permasyarakatan.
Dengan demikian, telah menimbulkan terjadinya disfungsi urusan dan menimbulkan ketidakjelasan peletakan kewenangan otoritas pusat dalam ekstradisi maupun bantuan timbal balik dalam masalah pidana.
Menanggapi permohonan tersebut, Hakim Arsul Sani menjelaskan bahwa materi yang digugat tersebut sangat penting untuk dikaji lebih jauh. Menurutnya, persoalan kepastian hukum ekstradisi bisa saja diatur secara khusus pada Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
“Ini kasus yang menarik terus terang, tapi apakah Mahkamah harus memutuskan ini, kami juga bisa mengatakan sekarang lagi dibahas RKUHAP, terkait persoalan hukum ekstradisi bisa juga dimasukkan di dalam satu bab tersendiri di KUHAP,” katanya.
Kendati demikian, Arsul menekankan bahwa pihaknya akan menentukan apakah perkara gugatan tersebut akan diputuskan hanya oleh hakim MK atau harus mendengarkan keterangan khusus dari DPR dan pemerintah. Hal itu akan dikaji dalam rapat permusyawaratan hakim (RPH).
“Apakah ini kemudian langsung diputus dengan mengesampingkan pasal 54, atau kemudian diplenokan untuk mendengarkan keterangan DPR dan pemerintah, kemungkinan juga pihak terkait serta untuk pembuktian, itu nanti RPH yang akan memutuskan,” tandasnya. (Dev/P-3)