
BANK BJB telah mengadakan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 16 April 2025 lalu. Namun pengangkatan pengurus yang menahkodai bank kebanggaan masyarakat Jawa Barat (Jabar) ini, kini masih menjadi polemik dan mendapat sorotan tajam.
“Pengangkatan pengurus baru, termasuk Mardigu Wowiek Prasantyo, Helmy Yahya, dan Ayi Subarna, memicu dugaan politisasi yang dilakukan oleh Gubernur Jabar Dedi Mulyadi. Gagas Nusantara mendesak Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengevaluasi kelayakan pengurus secara ketat untuk menjaga integritas bank, di tengah isu maladministrasi yang kian mencuat,” tegas Sekjen Gagas Nusantara, Muhtar, melalui keterangannya di Bandung Rabu (7/5).
Menurut Muhtar, RUPS April 2025 yang menetapkan Mardigu sebagai Komisaris Utama Independen dan Helmy Yahya sebagai Komisaris Independen disorot tajam. Keduanya dikritik karena minim pengalaman perbankan. Di samping itu, pengangkatan tersebut memicu kritik karena dinilai hanya sekadar memenuhi bagi-bagi jabatan. Mardigu sebelumnya merupakan tim sukses Prabowo dalam Pilpres 2024.
BJB butuh profesional, bukan sekadar figur publik. Proses pengangkatan juga menjadi polemik, karena proses itu dilakukan Dedi Mulyadi melalui komunikasi telepon, tanpa diskusi mendalam.
“Mardigu, pengusaha dengan 32 perusahaan, mengeklaim pengalaman di Bank Indonesia (BI), namun tidak ada bukti konkret. Proyek Cyronium-nya pernah ditegur OJK. Helmy Yahya mantan Direktur Utama TVRI, hanya memiliki latar belakang akuntansi, jauh dari syarat kompetensi perbankan strategis. Keduanya berisiko melanggar POJK Nomor 27/POJK.03/2016,” beber Muhtar.
Ayi Subarna, lanjut Muhtar yang diangkat sebagai Direktur Operasional dan Teknologi Informasi, juga memicu kontroversi. Ia diduga hanya memiliki sertifikasi manajemen risiko level 5, yang tidak memenuhi standar level 7 untuk direksi bank umum, sebagaimana diatur dalam regulasi OJK.
“Tiba-tiba mengikuti sertifikasi level 7 menunjukkan adanya kejanggalan, ini potensi maladministrasi,” papar Muhtar, merujuk
pada laporan bahwa Ayi, sebelumnya Sekretaris Perusahaan, tidak memiliki kualifikasi memadai saat pengangkatan.
“Yusuf Saadudin, Direktur Utama baru juga disorot. Sebelumnya ia menjabat Direktur Konsumer dan Ritel, pada saat kasus korupsi pengadaan
iklan Rp222 miliar yang masih bergulir, yang menyeret Direktur Utama Yuddy Renaldi yang mengundurkan diri, pengawasannya dipertanyakan. OJK harus selidiki potensi kelalaian Yusuf,” jelas Muhtar.
Lalu kata Muhtar, Joko Hartono Kalisman yang ditunjuk sebagai Direktur Kepatuhan, juga menuai keraguan karena rekam jejaknya minim. Pengangkatannya di tengah investigasi KPK atas skandal korupsi memperburuk persepsi tata kelola. Kepatuhan adalah jantung bank dan Kalisman harus terbukti kompeten.
Begitu juga dengan Herman Suryatman, Sekda Jabar yang menjadi komisaris, tidak memiliki pengalaman perbankan. Kedekatannya dengan Pemprov Jabar memunculkan risiko konflik kepentingan. Ia mendesak OJK menolak Mardigu, Helmy dan Herman jika tidak memenuhi syarat, serta menyelidiki Yusuf, Joko dan Ayi, khususnya soal sertifikasi dan korupsi. OJK diminta mengaudit RUPS dan berkoordinasi dengan KPK.
“Kudu beresih ati, beresih karya dan BJB harus kembali menjadi kebanggaan urang Sunda, bukan alat politik. Gubernur diharapkan
prioritaskan meritokrasi. Tong ngalangkang ka jalan buntu,” sambung Muhtar yang mendesak OJK dan Pemprov Jabar menjaga kepercayaan publik. (AN/E-4)