MI/Seno(Dok. Pribadi)
ANAK-ANAK Indonesia hari ini bukan hanya sebagai pewaris bangsa, melainkan juga arsitek utama masa depannya, yang akan membentuk kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa di era mendatang. Visi Indonesia emas 2045 menargetkan Indonesia sebagai negara maju dengan populasi produktif dan mencapai puncak bonus demografi pada 2035. Visi Indonesia emas dianggap sebagai peluang besar untuk mendorong kebangkitan negara (Rahmawati, 2025), tapi bergantung pada generasi muda yang saat ini berusia sekolah untuk mengisi peran kunci dalam transformasi ekonomi dan inovasi.
Masa kanak-kanak awal yang dikenal sebagai periode emas saat 90% kapasitas kecerdasan manusia terbentuk sebelum usia 9 tahun (Courchesne et al, 2000), menentukan fondasi ini. Namun, kondisi anak hari ini memiliki beragam tantangan, dari stunting, kecanduan gawai, menurunnya empati, kurangnya bersosialisasi, hingga asupan yang tidak sehat dan malas gerak.
Oleh karena itu, investasi pada pendidikan berkualitas dari anak usia dini (PAUD) hingga tingkat menengah menjadi prioritas dan keharusan strategis untuk mencetak generasi unggul yang kompetitif, inovatif, berkarakter, dan mampu mengurangi ketimpangan sosial-ekonomi.
Menyiapkan anak sebagai pilar masa depan bangsa menuju Indonesia emas 2045 merupakan investasi jangka panjang yang harus diwujudkan melalui pemenuhan hak anak secara holistik, mencakup hak sipil, pengasuhan, kesehatan dan kesejahteraan, pendidikan dan pemanfaatan waktu luang, serta perlindungan khusus. Upaya itu membutuhkan kolaborasi lintas pihak--pemerintah, sekolah, keluarga, masyarakat, dan dunia usaha--untuk menciptakan ekosistem tumbuh kembang anak yang optimal. Partisipasi semesta dalam memenuhi hak anak sekaligus menyiapkan generasi emas sangat penting dilakukan.
Sekolah sebagai rumah kedua anak dan guru sebagai orangtua pengganti di sekolah berperan menyediakan pendidikan berkualitas dari PAUD hingga menengah yang membekali keterampilan abad 21 seperti berpikir kritis, kreativitas, kolaborasi, literasi digital, dan kemandirian belajar (Tight, 2021). Keluarga sebagai pendidik pertama dan utama membentuk karakter, nilai moral, serta potensi anak melalui pengasuhan penuh kasih dan stimulasi yang tepat.
DISRUPSI DIGITAL PADA ANAK USIA SEKOLAH
Sayangnya, anak-anak Indonesia yang digadang kelak menjadi aktor Indonesia emas 2045 saat ini menghadapi tantangan besar, terutama terkait dengan penggunaan gawai. Penelitian menunjukkan bahwa kehadiran gawai cenderung menimbulkan dampak negatif terkait dengan kecanduan yang mengakibatkan minimnya aktivitas fisik dan penurunan konsentrasi belajar. Banyak anak menghabiskan waktu untuk bermain game online, bersosial media, dan menonton konten hiburan yang berpotensi memicu terjebak masalah judi online, pola pikir instan, hingga paparan pornografi.
Selain itu, konsumsi berlebih konten online berkualitas rendah ini dapat memicu 'brain rot', yaitu penurunan kemampuan kognitif akibat konsumsi konten digital dangkal dan berdurasi pendek (short-form content) yang berlebihan, gratifikasi instan, dan algoritma echo chamber, doomscrolling, mengarah pada isu emotional desensitisation (kurang peka secara emosional), cognitive overload (beban kognitfi berlebihan), serta gangguan fungsi eksekutif seperti memori, perencanaan, pengambilan keputusan.
Merujuk pada penelitian Stoilova et al (2016) berjudul Global Kids Online: Researching Children’s Rights Globally in the Digital Age, minimnya literasi digital juga membuat anak rentan terhadap paparan konten berbahaya seperti pornografi, hoaks, perundungan siber, ujaran kebencian yang berpotensi membentuk pola pikir dangkal, intoleransi, serta gangguan perkembangan moral dan emosional.
Pada saat yang sama, muncul pula fenomena yang disebut 'generasi stroberi', yaitu kelompok anak muda yang tampak kuat dari luar, tapi rapuh secara mental, mudah menyerah ketika menghadapi tekanan, memiliki ekspektasi hidup tinggi tanpa diimbangi etos kerja, dan cenderung lari dari tanggung jawab. Kondisi ini tidak hanya dipengaruhi oleh lingkungan digital, tetapi juga diperkuat oleh pola asuh overprotective yang mengekang pengalaman belajar anak dalam menghadapi tantangan dan kegagalan sehingga menghambat perkembangan daya juang (grit) dan ketangguhan psikologis (resilience) (Brooks & Goldstein, 2004).
Di sisi lain, tantangan perkembangan anak di era digital tidak hanya berkaitan dengan aspek kognitif dan moral, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan fisik dan mental. Fenomena generasi nokturnal--anak yang terbiasa begadang hingga larut karena bermain gawai--mengakibatkan gangguan ritme tidur yang berhubungan dengan penurunan fungsi memori, obesitas, serta kelelahan kronis (Owens et al, 2014). Paparan layar berlebih juga menyebabkan gangguan kesehatan seperti sindrom mata lelah (computer vision syndrome), masalah pendengaran akibat penggunaan earphone, hingga risiko masalah gigi karena kebiasaan ngemil saat screen time.
Dalam konteks pendidikan, kondisi ini semakin diperburuk oleh rendahnya literasi membaca dan literasi digital anak Indonesia, keterbatasan kemampuan keluarga berpendapatan rendah untuk memiliki kuota internet, dan rendahnya keterlibatan orangtua dalam pendampingan penggunaan teknologi.
Padahal, sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014, setiap anak memiliki hak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal melalui pengasuhan yang berkualitas, pengembangan bakat minat, pendidikan yang memanusiakan, serta stimulus positif yang mampu membentuk karakter religius, bermoral, sehat, cerdas, kreatif, disiplin, mandiri, dan bertanggung jawab sebagai profil lulusan murid masa depan bangsa.
STRATEGI PEMULIHAN KARAKTER DI ERA DIGITAL
Gerakan Tujuh Kebiasaan Anak Indonesia Hebat (7 KAIH) muncul sebagai respons strategis terhadap dinamika era digital yang semakin kompleks saat anak-anak Indonesia dihadapkan pada risiko ketergantungan teknologi yang dapat menghambat perkembangan holistik mereka.
Diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada akhir 2024, program ini menargetkan pembentukan karakter melalui tujuh rutinitas harian sederhana: bangun pagi untuk kedisiplinan waktu dan memulai hari dengan ceria, beribadah untuk penguatan spiritual, berolahraga untuk kebugaran fisik, makan sehat dan bergizi untuk nutrisi optimal, gemar belajar untuk pengembangan intelektual, bermasyarakat untuk mengembangkan empati sosial, serta tidur cepat untuk regenerasi tubuh dan pikiran.
Pendekatan ini tidak hanya mengandalkan sekolah sebagai pusat utama, tetapi juga melibatkan keluarga, masyarakat, dan media dalam kerangka 'catur pusat pendidikan' sehingga dapat memastikan pembiasaan yang berkelanjutan dan adaptif terhadap konteks.
7 KAIH ini memiliki dimensi nilai yang saling terkait dan berorientasi pada pembentukan manusia Indonesia yang sehat, berkarakter, dan produktif. Kebiasaan bangun pagi menumbuhkan disiplin diri, manajemen waktu, dan kesiapan mental, sekaligus menjadi koreksi atas meningkatnya pola hidup nokturnal akibat penggunaan gawai tanpa kendali. Kebiasaan beribadah memantik pembentukan akhlak, integritas moral, dan kesadaran spiritual sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Aktivitas berolahraga secara rutin berfungsi meningkatkan kebugaran, melatih ketahanan fisik, dan menguatkan regulasi stres pada anak sekaligus mengurangi mager (malas gerak). Kebiasaan ini juga membantu memutus pola screen time berlebihan yang memicu kelelahan kronis, sulit konsentrasi, dan penurunan produktivitas belajar.
Aktivitas fisik tidak hanya memperkuat kebugaran, tetapi juga meningkatkan hormon endorfin yang penting untuk mencegah stres digital (digital stress) dan kelelahan mental (mental fatigue). Sekolah dapat memfasilitasnya dengan melakukan senam anak Indonesia hebat melalui kegiatan pagi ceria, yaitu senam, menyanyikan Indonesia Raya, dan berdoa untuk meningkatkan spiritualitas anak.
Sementara itu, pembiasaan makan sehat dan bergizi memperbaiki pola konsumsi anak yang sering terpengaruh iklan makanan instan dan minuman tinggi gula di platform digital. Melalui kebiasaan ini, anak belajar tanggung jawab terhadap kesehatan diri, menghindari risiko obesitas dini, dan mengembangkan kemandirian dalam memilih asupan yang bermanfaat. Pembiasaan ini melindungi anak dari budaya konsumtif digital, risiko obesitas akibat snacking saat screen time, serta gangguan pencernaan akibat pola makan tidak teratur yang dipicu kebiasaan multi-tasking dengan gawai.
Kebiasaan gemar belajar memiliki kontribusi langsung terhadap pemulihan learning loss yang masih menjadi perhatian Kemendikdasmen berdasarkan hasil asesmen nasional. Pembiasaan ini menumbuhkan budaya literasi, meningkatkan kemampuan bernalar kritis, serta memperbaiki capaian literasi membaca dan numerasi yang menurun akibat dominasi konten singkat (short-form content) dan budaya belajar instan.
Sementara itu, kebiasaan bermasyarakat mengembangkan keterampilan sosial dan kolaborasi yang merupakan salah satu dimensi utama kompetensi abad 21. Kebiasaan ini menjadi solusi atas isolasi sosial akibat interaksi digital yang semu dan individualistik. Adapun kebiasaan tidur lebih awal melatih pengendalian diri dari doomscrolling, FOMO, dan kecanduan media sosial atau video-video pendek sebelum tidur yang selama ini menurunkan kapasitas belajar pada pagi hari. Tidur cukup memperbaiki memori jangka panjang anak, meningkatkan fokus, dan mencegah kelelahan akademik.
Dari pelaksanaan 7 KAIH ini, anak-anak menjadi terbiasa dengan kegiatan yang positif bagi diri mereka sehingga akan muncul kebiasaan-kebiasaan baik. Dari kebiasaan-kebiasaan positif, akan terbentuk pribadi yang berkualitas yang pada akhirnya membangun peradaban bangsa. Seluruh pemangku kepentingan sudah semestinya berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan 7 KAIH sebagai bagian dari pemenuhan hak tumbuh kembang sekaligus melindungi anak Indonesia.
PERAN ORANGTUA DALAM PENERAPAN 7 KAIH
Peran orangtua sangat penting dalam memastikan keberlanjutan dan efektivitas pelaksanaan 7 KAIH. Di rumah, orangtua berperan sebagai teladan yang menunjukkan rutinitas--bangun pagi, sarapan bergizi, waktu belajar dan tidur teratur--sehingga anak belajar melalui imitasi. Orangtua juga bertindak sebagai fasilitator dengan menata lingkungan yang mendukung (ruang belajar bebas gangguan, batasan screen time, pilihan makanan sehat), merancang jadwal harian bersama anak, serta menyediakan kesempatan aktivitas fisik dan interaksi sosial di lingkungan komunitas.
Selain itu, orangtua perlu bertindak sebagai pengawas yang lembut melalui pembimbingan kebiasaan, dan pemberian apresiasi sehingga motivasi intrinsik anak bertumbuh. Kolaborasi aktif dengan sekolah--berkomunikasi dengan guru, mengikuti kegiatan pembiasaan, dan menegakkan kebijakan rumah-sekolah yang konsisten--dapat memperkuat sinergi catur pusat pendidikan.
Orangtua juga penting dalam membimbing literasi digital dengan mengajarkan penggunaan gawai yang bertanggung jawab dan memilih konten yang bermutu. Orangtua dapat mendorong pembuatan jurnal kebiasaan harian, memberi penghargaan mingguan yang sederhana, dan membuat semacam perjanjian dalam keluarga sebagai pengingat komitmen.
Selain aspek perilaku, perlu juga dukungan emosional orangtua, termasuk mendengarkan kesulitan anak dan memberi bimbingan secara suportif dan empatik, dan membantu anak menjaga kebiasaan baik dalam jangka panjang.
Dengan keterlibatan yang konsisten, suportif, dan berbasis teladan, peran orangtua dapat mempercepat pembentukan kebiasaan positif sekaligus menjaga agar nilai-nilai karakter yang ditanamkan melalui program ini melekat dan menjadi bagian identitas anak sehari-hari.


















































