(MI/Duta)
TES Kemampuan Akademik (TKA) yang menjadi salah satu kebijakan prioritas baru Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) mulai digelar sejak 3 November 2025. Tes ini diikuti oleh lebih dari 3,5 juta murid kelas akhir SMA, SMK, MA, MAK, dan program Paket C.
Sejak dihapuskannya Ujian Nasional (UN) pada 2020, TKA menjadi tes terstandar pertama yang menilai capaian hasil belajar individu murid secara nasional. Bedanya, TKA tidak wajib bagi murid. Sejalan dengan prinsip pembelajaran mendalam, pemerintah menjadikan TKA dan jenis asesmen lainnya sebagai aktivitas refleksi yang perlu dilakukan dengan penuh kesadaran dan tanggung jawab untuk perbaikan berkelanjutan.
Survei Katadata (2025) menunjukkan penerimaan publik yang sangat tinggi terhadap kebijakan ini (96,5%). Oleh karena itu, saat terjadi riak karena sebuah kasus kecurangan pada hari pertama pelaksanaan TKA, respons publik justru menunjukkan dukungan agar integritas TKA terus dikawal bersama-sama.
DILEMA TES TERSTANDAR
Selama bertahun-tahun, sistem pendidikan memang memiliki hubungan yang ambigu dengan ujian terstandar. Di satu sisi, praktik ini banyak diadopsi karena menyediakan ukuran yang konsisten dan dapat diperbandingkan mengenai hasil belajar. Hal ini membantu guru dan pengambil kebijakan untuk menilai, apakah para murid di semua sekolah dan daerah telah mencapai standar yang sama sesuai kurikulum, sehingga langkah-langkah yang diperlukan dapat diambil untuk peningkatan kualitas pembelajaran.
Namun, di sisi yang lain, ujian terstandar juga tak pernah sepi kritik. Ia dianggap sebagai simbol bagi sistem sekolah yang mekanistik. Banyak kalangan mengaitkan praktik ini dengan munculnya pendangkalan proses belajar. Karena ujian, sebagian besar fokus belajar dihabiskan untuk mempelajari hal-hal yang bisa diukur melalui soal-soal tes. Padahal, pendidikan adalah kegiatan untuk mengoptimalkan potensi holistik murid, yang pencapaiannya tidak sepenuhnya dapat diukur secara seragam.
Dilema ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global. Sejumlah negara mengambil jalan beragam dalam menyikapi ujian terstandar. Finlandia, misalnya, telah lama meninggalkan model ujian nasional berskala besar untuk pendidikan dasar dan menengah. Penilaian hasil belajar murid sepenuhnya dilakukan oleh guru melalui evaluasi formatif di kelas, sementara ujian akhir hanya digunakan secara terbatas untuk keperluan masuk universitas. Mereka sangat percaya kepada peran guru dan meyakini bahwa mutu pembelajaran lebih baik dijaga melalui otonomi sekolah, bukan tekanan ujian.
Sebaliknya, beberapa negara lain tetap mempertahankan ujian individu terstandar berskala nasional. Singapura, misalnya, masih mempertahankan Primary School Leaving Examination (PSLE) untuk murid kelas 6 SD yang menentukan penempatan mereka pada tingkat SMP. Meski sudah menghapus ujian terstandar di sekolah dasar, Tiongkok dengan Zhongkao-nya juga masih menjadikan hasil ujian sebagai penentu utama kelanjutan murid akhir SMP ke SMA.
Perbedaan sikap terhadap ujian terstandar tersebut tidak lepas dari konteks sosial budaya yang ada. Di Finlandia, kepercayaan publik terhadap institusi pendidikan dan kapasitas profesional guru membuat masyarakat menerima sistem tanpa ujian berskala nasional. Adapun di negara-negara Asia seperti Tiongkok dan Singapura, ujian masih dipandang sebagai sarana mobilitas sosial, cara bagi murid dari beragam latar belakang sosial ekonomi membuktikan diri melalui prestasi akademik. Karena itu, integritas ujian tetap dijaga ketat dan menjadi bagian dari pembentuk budaya meritokrasi.
FUNGSI PENYEIMBANG
Penghapusan UN pada dasarnya didasari niat baik untuk mengurangi tekanan ujian dan menggeser fokus ke perbaikan sistem. Akan tetapi, meninggalkan sama sekali tes individu terstandar terbukti tidak selalu ‘menguntungkan’ bagi sistem.
Praktik Finlandia yang menyerahkan sepenuhnya penilaian kepada guru, misalnya, tidak selalu relevan karena standar dan kapasitas penilaian di sekolah kita masih sangat beragam. Nilai rapor sering kali menunjukkan kecenderungan inflasi, bukan karena niat buruk guru, tetapi karena adanya dorongan sosial untuk menjaga citra sekolah dan semangat menghargai usaha murid.
Dalam kerangka ini, menjadikan tes terstandar bersifat opsional seperti TKA adalah jalan tengah. Ia dapat berfungsi sebagai penyeimbang yang membantu menjaga kualitas dan kredibilitas penilaian yang dilakukan guru tanpa meniadakan otonomi mereka. Karena tidak wajib, tes terstandar semacam ini juga dapat mengurangi potensi tekanan berlebihan pada murid.
Selain itu, secara psikokultural, keberadaan TKA diharapkan dapat menumbuhkan kembali etos belajar, tanggung jawab murid pada hasil belajar, dan semangat berprestasi yang menjadi bagian dari nilai-nilai meritokratis khas masyarakat Asia.
MENJAGA NALAR PUBLIK
Di era masyarakat digital saat ini, pendidikan tidak hanya menjadi sarana mobilitas sosial, tetapi juga sarana menjaga etika dan nalar publik. Pelembagaan tes terstandar dalam sistem pendidikan dapat menjadi suatu mekanisme sosial untuk menjaga rasionalitas publik di tengah zaman yang rentan disinformasi dan krisis kepakaran.
Dalam masyarakat digital yang semakin dikendalikan oleh opini dan emosi, keberadaan tes terstandar dapat membantu mengatasi apa yang oleh filsuf Jack W Meiland (1980) disebut sebagai paradoks relativisme kognitif. Setiap klaim pengetahuan akan diterima jika dapat diuji dengan kriteria yang disepakati secara intersubjektif.
Dalam kaitan ini, penerimaan publik terhadap TKA dapat menjadi pengingat bahwa klaim tentang kemampuan dan pengetahuan harus melewati prosedur pembuktian. Diskursus publik tentang isu-isu yang menjadi hajat bersama seperti kesejahteraan, kesehatan, hingga pendidikan, misalnya, harus berpijak pada rasionalitas dan bukti, bukan hanya pada opini populer. Tanpa kesadaran ini, ruang publik rentan dikooptasi oleh informasi sesat yang dipercaya karena pengaruh kekuasaan atau manipulasi algoritma.
Oleh karena itu, pelembagaan tes terstandar seperti TKA bukan sekadar soal teknokrasi pengukuran. Ini bagian dari proyek emansipasi, membentuk warga yang mampu menilai informasi, berargumen secara sehat, dan menghargai pengetahuan dalam ruang publik yang demokratis.


















































