
KONSTELASI satelit Starlink milik SpaceX menghadapi ancaman dari Rusia dan Tiongkok setelah layanan tersebut dimanfaatkan untuk keperluan militer di Ukraina menyusul invasi Rusia ke negara tersebut tahun 2022. Hal ini diungkapkan dalam laporan terbaru yang mengevaluasi kemampuan kontra-antariksa (counterspace) dari selusin negara selama setahun terakhir.
Laporan tersebut, yang diterbitkan pada Kamis (3/4) oleh lembaga think tank kebijakan nonpartisan Secure World Foundation (SWF), menyoroti bagaimana ketergantungan umat manusia yang semakin besar terhadap luar angkasa mendorong semakin banyak negara mengembangkan kemampuan kontra-antariksa mereka sendiri. Dokumen setebal 316 halaman ini menilai kemampuan kontra-antariksa dari 12 negara, termasuk AS, Rusia, Tiongkok, India, Australia, serta Korea Utara dan Korea Selatan, berdasarkan informasi yang tersedia secara publik dari Februari 2024 hingga Februari tahun ini.
“Kami merasa sangat perlu adanya perdebatan yang lebih terbuka dan publik mengenai isu-isu ini,” tulis pengantar laporan tersebut. “Masyarakat dan ekonomi global kita semakin bergantung pada kemampuan antariksa, dan konflik masa depan di luar angkasa bisa menimbulkan dampak negatif jangka panjang yang sangat besar di Bumi, karena setiap orang di planet ini adalah pengguna data dari luar angkasa dalam bentuk tertentu.”
Starlink milik SpaceX menggunakan jaringan satelit besar di orbit rendah Bumi untuk menyediakan internet broadband berkecepatan tinggi. Penduduk Ukraina mulai menggunakan Starlink pada 2022 untuk mempertahankan koneksi internet setelah layanan internet lokal mereka terganggu akibat invasi Rusia.
Layanan ini juga memungkinkan komunikasi yang aman bagi militer dan pemerintahan Ukraina. Namun, sejak Mei 2024, militer Ukraina mulai mengalami gangguan koneksi Starlink, dengan pejabat militer mengaitkan gangguan ini dengan upaya Rusia “menguji berbagai mekanisme” perang elektronik yang tampaknya menggunakan teknologi baru dan lebih canggih.
Laporan SWF mengutip dokumen militer AS yang bocor dan menyebutkan sistem Rusia bernama Tobol—yang awalnya dirancang untuk melindungi satelit Rusia dari gangguan sinyal—telah digunakan untuk mengganggu sinyal satelit komersial Starlink di wilayah Ukraina. Dokumen yang bocor tersebut “mengindikasikan Rusia menggunakan setidaknya tiga instalasi Tobol untuk mencoba mengganggu sinyal satelit Starlink di Ukraina Timur,” tulis laporan tersebut.
Rusia juga tampaknya sedang mengembangkan sistem baru yang lebih canggih bernama Kalinka, yang dirancang untuk mendeteksi dan mengganggu sinyal dari dan menuju satelit Starlink guna mengacaukan komunikasi militer dan pengoperasian drone Ukraina, menurut laporan SWF.
Andrei Bezrukov, direktur Pusat Sistem dan Teknologi Nirawak Rusia, yang mengembangkan sistem Kalinka, mengatakan kepada media pemerintah bahwa alat yang dijuluki sebagai “pembunuh Starlink” ini juga bisa mendeteksi terminal komunikasi yang terhubung dengan Starshield, versi militer dari Starlink yang dirancang dengan fitur keamanan tambahan.
Laporan tambahan mengungkap Rusia mengganggu sinyal GPS di empat negara Eropa: Prancis, Belanda, Swedia, dan Luksemburg. Ada juga laporan Rusia menginterupsi saluran TV anak-anak di negara-negara tersebut untuk menayangkan gambar-gambar perang di Ukraina. Dewan Regulasi Radio dari International Telecommunication Union menyatakan gangguan ini kemungkinan berasal dari stasiun-stasiun di Moskow, Kaliningrad, dan Pavlovka.
“Per Februari 2025, layanan Starlink tampaknya sangat tahan terhadap serangan siber lanjutan,” catat laporan tersebut.
Menurut laporan SWF, Tiongkok tengah berinvestasi dalam kemampuan serupa untuk persiapan kemungkinan konflik bersenjata dengan AS di masa depan.
Pada Juli tahun lalu, peneliti dari Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China mengusulkan penggunaan kapal selam bersenjata laser dengan tiang teleskopik yang bisa muncul ke permukaan untuk menargetkan satelit Starlink atau sistem pengawasan luar angkasa lainnya. Namun, para peneliti mengakui kemampuan deteksi terbatas dari kapal selam tersebut akan membutuhkan bantuan dari kekuatan eksternal untuk memberikan panduan posisi satelit agar dapat menargetkan secara akurat.
Sementara itu, Angkatan Luar Angkasa AS sedang menguji jammer satelit baru bernama Remote Modular Terminals, yang dirancang untuk beroperasi dari jarak jauh dan memberikan kemampuan perang elektronik kontra-antariksa, menurut laporan tersebut.
“Semua pihak sedang melakukan gangguan sinyal,” kata Victoria Samson, direktur kantor SWF di Washington dan salah satu penulis utama laporan tersebut, kepada Breaking Defense awal pekan ini.
Sejauh ini, hanya kemampuan kontra-antariksa non-destruktif yang secara aktif digunakan terhadap satelit dalam operasi militer saat ini, catat laporan tersebut. (Space/Z-2)