
PUTRI Presiden keempat Abdurrahman Wahid, Inayah WD Rahman atau dikenal juga sebagai Inayah Wahid, meminta Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Undang-Undang (UU) Nomor 3/2025 tentang Perubahan atas UU Nomor 34/2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (TNI). Ia merupakan satu dari enam pemohon uji formil UU TNI baru tersebut yang sidangkan perdana Rabu (14/5).
Inayah tercatat sebagai pemohon kelima dalam perkara yang teregistrasi dengan Nomor 81/PUU-XXIII/2025. Pemohon lainnya adalah Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Inisiatif Masyarakat Partisipatif untuk Transisi Berkeadilan (Imparsial), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Eva Nurcahyani, dan Fatiah Maulidiyanty.
Kuasa para pemohon, Bugivia Maharani Setiadji Putri, meminta agar MK menyatakan pembentukan UU TNI baru tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU menurut Undang-Undang Dasar 1945. Salah satu argumen yang dikemukakan pihaknya karena baik DPR dan Presiden selaku pembentuk UU beritikad buruk dengan menyembunyikan rancangan revisi UU TNI.
"Rapat-rapat pembahasan revisi UU TNI juga tidak melibatkan partisipasi publik yang bermakna, sebab sejumlah rapat kritikal dilakukan dalam ruang-ruang yang tertutup, tidak di gedung DPR, dan tidak disiarkan di kanal-kanal informasi DPR dan pemerintah sehingga publik tidak bisa mengakses dan mengawasi proses pembahasan revisi UU TNI tersebut," terang Bugivia di ruang sidang MK, Jakarta.
Petitum lain yang diajukan pemohon adalah meminta MK menyatakan UU TNI baru tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan memberlakukan kembali UU TNI sebelum direvisi, yakni UU Nomor 34/2004.
Adapun dalam provisi atau sebelum putusan akhir dikeluarkan MK, pemohon meminta majelis untuk menunda pemberlakukan UU TNI baru. MK juga diminta memerintahkan Presiden maupun DPR untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru ataupun kebijakan dan atau tindakan strategis yang berkaitan dengan UU TNI baru.
Sidang perdana itu diketuai oleh hakim konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Daniel Yusmic P Foekh dan M Guntur Hamzah. Suhartoyo meminta kepada pemohon untuk memperjelas uraian ihwal kerugian konstitusional terkait UU TNI baru.
Ia mengatakan, upaya konkret pemohon yang terhalang karena minimnya akses informasi saat proses pembahasan revisi UU TNI menjadi penting. Jika bersifat pasif, sambungnya, kerugian konstitusional terkait permohonan uji formil tersebut sulit untuk dibuktikan.
"Kalau selama proses pembahasan itu kemudian tidak melakukan apa-apa, itu juga sulit untuk kemudian mendalilkan bahwa berkaitan dengan kerugian konstitusional itu merasa dirugikan," jelasnya. (H-3)