Rekonfigurasi Bisnis Pelabuhan Global

1 month ago 21
Rekonfigurasi Bisnis Pelabuhan Global Direktur The National Maritime Institute (Namarin) Siswanto Rusdi.(dok.istimewa)

DALAM beberapa hari belakangan, dunia kepelabuhan global lumayan dikejutkan oleh manuver yang dilakukan oleh CK Hutchison, konglomerat asal Hong Kong. Seperti yang diberitakan oleh media internasional dan dalam negeri, perusahaan ini akan melepas saham-sahamnya di beberapa jaringan pelabuhan yang dimiliki atau dioperasikan oleh anak usahanya, Hutchisong Ports, di seluruh dunia. Yang disebut terakhir memegang saham di terminal peti kemas Jakarta International Container Terminal (JICT) dan TPK Koja.

Hingga tulisan ini diselesaikan belum ada penjelasan resmi dari PT Hutchison Ports Indonesia atau HPI – perusahaan afiliasinya di Indonesia – bagaimana dampak pelepasan saham Hutchison Ports di Indonesia. Maklumlah, dari induk operator pelabuhan mondial tersebut Pelindo mendapatkan cuan berupa uang sewa yang nilainya jutaan dollar Amerika Serikat (AS) per tahun. Plus, investasi peralatan, paket pengembangan sumberdaya manusia dan lain sebagainya. Bisnis pelabuhan domestik pun harap-harap cemas dibuatnya.
 
Langkah CK Hutchison menarik sahamnya pada terminal peti kemas atau pelabuhan di berbagai penjuru mata angin, media menyebutnya sekira 43 terminal/pelabuhan, sesungguhnya sudah tercium oleh Mark McVicar, seorang analis pelayaran, sejak beberapa tahun lalu ketika dia mengunjungi Pelabuhan Felixstowe di Inggris yang dikelola oleh perusahaan itu. Dia mengatakan, very obvius that Hutchison was not interested in the terminals business, it was justa cash cow for them.

Sementara itu, analis lainnya yang tidak hendak namanya dikutip mengungkapkan Hutchison Ports had only grown organically over the last 10 years and that reflected a level of of disinterest in the business. Dari dua pernyataan yang ada, apakah bisa disimpulkan bahwa Hutchison Ports hendak “pensiun” dari bisnis kepelabuhanan? Apakah sektor usaha yang digeluti oleh firma yang didirikan oleh, salah satunya, John Duflon Hutchison tersebut sudah tidak menarik lagi bagi investor?
 
Ternyata, Hutchison Ports tidak akan pensiun dari bisnis kepelabuhanan. Setidaknya ia masih mempertahankan kepemilikan sahamnya di beberapa terminal atau pelabuhan di Singapura, Hong Kong, Shenzen dan China bagian Selatan. Adapun saham yang akan dilepas tersebar di terminal/pelabuhan di Rotterdam, Inggris, Spanyol, dll (seluruhnya ada 43 pelabuhan yang berada di 23 negara termasuk Indonesia).

Bagi kita, ini berarti 49% saham Hutchison Ports di JICT dan 49% di TPK Koja akan berpindah tangan. Sayangnya tidak jelas ke tangan siapa saham-saham itu akan dialihkan. Sejauh ini, sebagaimana dikabarkan oleh laman Seatrade Maritime News, perusahaan investasi asal AS, Blackrock, dan anak usaha operator pelayaran internasional MSC, Terminal International Limited atau TiL, telah membeli saham-saham Hutchison Ports di pelabuhan yang disebutkan di muka senilai 22,8 miliar dollar AS.

Tak hanya itu, konsorsium keduanya juga membeli 90% saham Panama Ports Company yang mengoperasikan Pelabuhan Balboa dan Pelabuhan Cristobal yang berada tepat di pintu masuk Terusan Panama.
Rekonfigurasi
 
Dengan mengecilnya porsi saham Hutchison Ports dalam tata kepelabuhan global, maka terjadilah rekonfigurasi dalam 'klasemen' liga pelabuhan internasional. Maksudnya begini. Selama ini, bisnis ini pemainnya terdiri dari perusahaan yang relatif independen dari perusahaan pelayaran. Nama-nama seperti PSA, DP World, Hutchison Port sendiri dan lain sebagainya adalah perusahaan dengan karakteristik ini.

Mereka kemudian terhubung dengan investor-investor lainnya (umumnya dari kalangan perbankan atau lembaga keuangan). Tentu ada pula keterlibatan perusahaan pelayaran di dalamnya namun biasanya hanya sebagai pemegang saham minoritas. Kini, lansekap itu berubah dengan masuknya perusahaan pelayaran, melalui anak usaha terminal mereka, dalam hal ini TiL, ke dalam manajemen terminal/pelabuhan dengan jumlah saham yang membesar. Tapi harap dicatat bahwa belum terungkap berapa besar saham TiL dan Blackrock masing-masing dalam pelabuhan eks-Hutchison Ports yang sudah dibeli itu.
 
Sebagai anak usaha perusahaan Mediterranean Shipping Company (MSC), bermarkas di Swiss, TiL telah melayani armada kapal peti kemas 'sang ibu' di Singapura, Ningbo, Busan, Los Angeles, Long Beach, Rotterdam, Antwerp, New York/New Jersey dan Valencia. Kelak, tak lama lagi, deretan pelabuhan singgah ini akan makin panjang dengan dimasukannya terminal yang dulu dikelola Hutch, begitu nama panggilan perusahaan yang dimiliki oleh taipan Hong Kong Li Ka-shing itu dalam kalangan pebisnis pelabuhan.

Penjualan saham Hutchison Ports hanya menunggu restu dari beberapa lembaga regulasi pasar modal setempat sebelum beroperasi. Yang namanya rekonfigurasi pastilah memicu perubahan dalam praktik bisnis. Salah satunya, bisnis akan semakin terkonsentrasi kepada perusahaan pelayaran mulai dari hulu hingga ke hilir. Biasanya, armada pelayaran bersandar di terminal atau pelabuhan yang dikelola oleh pihak ketiga.

Kini, fasilitas ini dioperasikan 'saudara' sendiri. Memang ada hitungan bisnisnya tetapi namanya saudara tentu bisa cincai. Hanya saja bagi pelayaran yang bukan saudara model relasi baru ini bisa bikin berabe. Bisa-bisa mereka tidak mendapat window pelayanan karena slot yang ada diutamakan untuk armada dari grup sendiri. Dalam kasus TiL, misalnya, armada MSC akan mendapat prioritas sandar dan pelayanan dibanding, katakanlah, Yang Ming, COSCO atau lainnya.
 
Bagi Indonesia jelas situasi yang ada dapat menimbulkan riak dalam bisnis pelabuhannya. Bila Blackrock dan TiL menguasai JICT dan TPK Koja, bagaimana nasib kontrak kerja sama, khususnya perjanjian sewa, selama ini? Apakah akan dilanjutkan, direvisi atau bahkan diakhiri sama sekali? Sebagai pemain global kedua investor mengerti adagium pacta sunt servanda. Semoga. (P-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |