
KEMENTERIAN Agama RI menyoroti kembali peran strategis zakat dalam sistem ekonomi Islam, bukan sebagai wacana normatif, tetapi sebagai solusi konkret untuk mengurangi kemiskinan dan menutup celah ketimpangan. Dalam Forum Group Discussion bertema “Zakat sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak”, pemerintah menyampaikan sinyal kuat untuk memperkuat sinergi antara zakat dan sistem pajak nasional.
Direktur Pemberdayaan Zakat dan Wakaf, Waryono Abdul Ghafur, menegaskan bahwa zakat bukan hanya kewajiban spiritual, tapi juga alat distribusi kekayaan yang relevan secara sosial dan fiskal. Ia mendorong agar publik melihat zakat sebagai indikator kejujuran dalam pelaporan penghasilan, bukan sekadar ritual tahunan.
“Zakat dikenakan atas harta halal, dan itu mencerminkan nilai moral umat. Pajak bersifat wajib atas semua penghasilan, tapi zakat membawa dimensi spiritual dan sosial yang lebih dalam,” ujar Waryono di Jakarta, Jumat (9/5).
Ia juga mengingatkan bahwa sejak 1990-an, zakat profesi mulai dipraktikkan meskipun tidak eksplisit disebut dalam teks agama. “Kesadaran kolektif terus tumbuh, tapi perlu diikuti sistem pendukung yang memudahkan muzaki untuk konsisten,” tambahnya.
Aturan Baru: Bukti Zakat Terintegrasi Otomatis dengan Sistem Pajak
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pajak sedang menuntaskan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang akan menetapkan secara teknis bagaimana zakat bisa langsung mengurangi pajak terutang. Tak lagi sekadar retorika insentif, rencana ini memuat mekanisme validasi otomatis via sistem DJP.
Pejabat dari DJP menjelaskan bahwa pembayaran zakat yang dilakukan melalui BAZNAS atau LAZ resmi akan langsung tercatat di sistem Core Tax Administration, tanpa perlu dokumen manual.
“Dengan integrasi data, efisiensi dan transparansi bisa ditingkatkan. Zakat korporasi pun akan diakui sebagai pengurang pajak selama disalurkan melalui lembaga resmi,” jelasnya.
Langkah ini tidak hanya menyasar individu, tapi juga menyentuh sektor bisnis yang dimiliki oleh umat Islam. Pemerintah berharap skema ini dapat membuka jalan bagi ekosistem zakat yang lebih profesional dan akuntabel.
Mendorong Kesadaran, Bukan Sekadar Kepatuhan
Salah satu kendala terbesar selama ini adalah minimnya data muzaki yang tercatat secara sistematis. Dengan integrasi sistem pajak dan zakat, pemerintah berharap dapat membangun kepercayaan publik sekaligus memperbaiki distribusi zakat agar lebih tepat sasaran.
Prof. Waryono menutup diskusi dengan penekanan bahwa kolaborasi zakat dan pajak bukan hanya soal insentif, tetapi tentang membangun kesadaran kolektif untuk sistem ekonomi yang lebih adil.
“Zakat harus jadi bagian dari budaya transparansi dan tanggung jawab sosial. Ini soal masa depan kesejahteraan, bukan sekadar pengurangan pajak.” (Ant/Z-10)