Prospek BPRS Nasional Milik Muhammadiyah

1 month ago 22
MI/Duta MI/Duta(Dok. Pribadi)

MUNGKIN masih terngiang di telinga kita ketika publik dihebohkan dengan hengkangnya Muhammadiyah dari Bank Syariah Indonesia dengan total kelolaan dana belasan triliun rupiah. Sebuah nominal yang bukan sedikit bagi sebuah organisasi keumatan besar di Indonesia. Jika dana itu digunakan untuk mendesain sebuah Bank Perekonomian Rakyat Syariah (BPRS) sendiri, akan jadilah bank tersebut karena dengan uang triliunan, sangat mudah Muhammadiyah memiliki bank syariah sendiri. Apalagi ada beberapa bank syariah saat ini yang posisinya 'open to sale' karena pertumbuhan mereka tidak terlalu menggembirakan.

Ada beberapa sebab kenapa bank itu tidak tumbuh. Pertama, mungkin mereka tidak memiliki ciri khas keunikan tersendiri sehingga masyarakat tidak memilih bank tersebut sebagai bank transaksional mereka. Kedua, bank tersebut tidak memiliki target market khusus yang mereka bisa jangkau sehingga pasar khusus bisa jadi sudah milik bank tertentu.

Ketiga, mereka tidak memiliki ekosistem sehingga preferensi nasabah untuk memilih bank tersebut tidak terintegrasi dengan brand tertentu atau marketplace tertentu. Dengan demikian, jika nasabah menggunakan bank tersebut, tidak akan mendapat perlakuan khusus seperti diskon ataupun hal menarik lainnya.

Keempat, mungkin dari sisi pendanaan mereka tidak mampu memberikan pricing yang kompetitif jika dibandingkan dengan bank lainnya, dan terakhir tentunya kemungkinan kesalahan strategi yang diambil oleh manajemennya yang ternyata tidak sesuai dengan kebutuhan nasabah dan tidak mengikuti perkembangan zaman yang ada saat ini.

Maka dari itu, sebenarnya itu menjadi senjata penting bagi Muhammadiyah untuk bangkit dengan mengelola dana kelolaan sendiri secara profesional yang tentu harus dikelola oleh bankir-bankir profesional sehingga pertumbuhan banknya nanti menjadi baik dengan tingkat kesehatan bank yang selalu terjaga. 

Hingga saat ini, Muhammadiyah memiliki aset tersebar ke seluruh Indonesia dan beberapa negara lainnya seperti Malaysia dan Australia dengan total nilai bisa mencapai Rp400 hingga Rp500 triliun. Belum lagi para anggota Muhammadiyah dan simpatisan jika mau bahu-membahu membawa bank itu menjadi bank perekonomian rakyat syariah top di level nasional, harusnya bisa bersaing dengan bank-bank lainnya. Dari sini kita bisa melihat bahwa Muhammadiyah sudah memiliki jaringan dengan ekosistemnya di bidang kesehatan, pendidikan, dan keuangan.

SEJARAH BANK MILIK MUHAMMADIYAH

Sebenarnya pada 2001 Muhammadiyah memiliki bank sendiri yang merupakan hasil akuisisi dari Bank Swansarindo dengan nama Bank Persyarikatan Indonesia (BPI). Namun, dalam perjalanannya, pertumbuhan bank itu tidak begitu menggembirakan karena setelah tiga tahun beroperasi pada 2004, bank tersebut masuk pengawasan khusus (special surveillance) atau saat ini di OJK disebut sebagai bank dalam resolusi. 

PI pada masa itu diminta oleh BI untuk melakukan penambahan modal, tapi tidak mampu dipenuhi sehingga diambil alih oleh Bank Bukopin yang saat ini menjadi KB Bukopin Syariah.

Ada beberapa catatan kenapa bank tersebut pada masa itu tidak berhasil menjadi bank yang tumbuh sehat. Pertama, ketika bank itu diambil alih, bank dalam kondisi sedang tidak baik-baik saja, khususnya kualitas asetnya bukanlah kualitas yang baik, sama seperti yang terjadi pada Bank Muamalat ketika dibeli oleh BPKH yang hingga saat ini belum menunjukkan perbaikan dan masih dalam posisi tidak sehat.

Kedua, strategi pengurus waktu itu tidak tepat dalam pengembangan banknya untuk menjadi sebuah bank yang sehat dan mampu bersaing di tingkat nasional.

Ketiga, pengelolaan bank yang tidak ditangani oleh para profesional yang ahli di bidang perbankan dari level atas hingga ke level paling bawah seperti teller dan customer service.

Keempat, ialah kekuatan modal yang kurang memadai sehingga kekuatan bank tidak mampu bersaing dengan bank-bank nasional. Kelima, ialah produk yang tidak sesuai dengan kebutuhan target market amal usaha Muhammadiyah dan UMKM.

Maka dari itu, keputusan Muhammadiyah pada tahun lalu untuk tidak mengakusisi sebuah bank ialah keputusan yang tepat karena beberapa bank yang menjadi incaran ialah bukan bank yang sehat sehingga dikhawatirkan sejarah sebelumnya bisa terulang kembali.

Maka itu, langkah yang paling tepat bagi Muhammadiyah ialah bagaimana mengembangkan sendiri bank perekonomian rakyat syariahnya dari awal sehingga kualitas aset yang dibangun bisa mampu menopang bank ini dalam jangka panjang. Sama seperti jika kita mengurus seorang bayi, kita mendesain bayi itu akan jadi seperti apa ke depannya, menjadi sesuai dengan didikan dan desain yang diinginkan oleh Muhammadiyah. Jika bank itu dibangun dengan jerih payah sendiri dan tata kelola yang baik, kita akan tahu bagaimana kualitas aset bank tersebut akan baik atau buruk ke depannya.

MERGER VERSUS NONMERGER

Tahun lalu, berdasarkan POJK 7 Tahun 2024, bank yang memiliki pemegang saham sama dengan total kepemilikan di atas 50% diminta secara resmi oleh OJK dan diwajibkan merger demi memperkuat posisi bank agar mampu bersaing dan tumbuh lebih sehat lagi karena pasarnya akan jauh lebih luas dengan modal yang lebih besar lagi. 

Termasuk ada empat BPRS milik Muhammadiyah diminta untuk merger, di antaranya ialah BPR Matahari Artadaya (saat ini sedang proses konversi ke syariah) di Jabodetabek, BPRS Artha Surya Barokah di Semarang, BPRS Bangun Drajat Warga di Yogyakarta, dan BPRS Cara Kiat Andalas di Sumatra Barat. Dengan mergernya empat BPRS itu, Muhammadiyah akan memiliki asset BPRS yang menyentuh angka Rp1 triliun pascamerger yang mana kantor pusatnya haruslah di Jakarta sebagai pusat bisnis dan ekonomi nasional. 

Jika proses merger itu smooth, Muhammadiyah bisa mengembangkan BPRS itu menjadi Bank Perekonomian Rakyat Syariah dengan menambah modal minimal Rp100 miliar di setiap BPRS-nya, khususnya daerah Jabodetabek, agar mampu menyerap kebutuhan pembiayaan amal usaha yang ada di level menengah ke bawah. 

Akan tetapi, ada beberapa kendala yang akan dihadapi oleh Muhammadiyah jika merger tersebut dipaksakan tanpa proses dan strategi yang tepat. Pertama, adanya kesenjangan komunikasi lintas kultural antarmanajemen dan para karyawan, termasuk pengelolaan prosesnya, jika tidak tepat, akan menghambat jalannya bisnis bank.

Kedua, gaya kepemimpinan baru yang tidak kondusif dan susah diterima oleh karyawan. Maka dari itu, bank baru nanti haruslah dikelola oleh profesional berpengalaman dalam mengurus bank besar, bukan hanya level BPRS.

Ketiga, para pemegang saham yang terlalu banyak dan kurang kondusif, ditambah visi setiap PSP yang berbeda dalam menjalankan BPRS, ditambah lagi adanya PSP baru ketika dimerger. Maka dari itu, haruslah dikomunikasikan oleh pengurus yang baik dan memiliki kompeten untuk menjalankannya sehingga prosesnya lancar.

Keempat, perbedaan budaya kerja setiap daerah dan wilayah berbeda sehingga menyatukan budaya kerja akan menjadi syok tersendiri ketika merger dan menyebabkan kegagalan dalam mengelola. Strategi bank haruslah tepat dalam mengelola budaya kerja antarlembaga dengan membuat kebijakan dan SOP yang relevan sehingga tidak terjadi kebingungan.

Kelima, perbedaan produk. Karena visi yang berbeda, otomatis produknya berbeda, di setiap legacy ingin tetap menonjolkan keunggulan produk masing-masing sehingga terjadi gesekan. Maka itu, manajemen baru harus tetap memasarkan produk unggulan di setiap daerah. Namun, ada produk unggulan di level nasional yang bisa bersaing di level nasional dengan koordinasi yang baik dan tepat.

Keenam, karyawan akan kurang fokus lagi bekerja karena posisinya bisa jadi akan tergantikan dengan yang lain. Karyawan akhirnya lebih fokus mengamankan posisi ketimbang mencapai target, bisnis menjadi terhambat. Maka dari itu, manajemen yang baru harus bisa memastikan bahwasanya mereka akan tetap bekerja sesuai dengan target yang diberikan oleh bank sehingga mereka akan tetap fokus dalam bekerja. 

PROSPEK BPRS MILIK MUHAMMADIYAH

Sebenarnya Muhammadiyah sangat mampu memiliki BPRS besar dengan menyiapkan satu BPRS yang digadang-gadang nanti menjadi induk dari segala bank Muhammadiyah yang tersebar di beberapa kota besar di Indonesia. Misalnya, dengan menyiapkan modal awal Rp100 miliar untuk satu BPRS di jabodetabek, yang nanti akan menjadi cikal bakal BPRS milik Muhammadiyah dengan skala besar.

Maka itu, Muhammadiyah tidak perlu melakukan merger saat ini, tetapi dibuat roadmap jangka panjang, misalnya dalam 5-10 tahun ke depan, semua bank ini sudah siap untuk merger dengan kesiapan yang lebih matang lagi termasuk mempersiapkan satu core banking system yang mumpumi dengan kemampuan pengembangan mobile banking setara super apps. 

Maka dari itu, Muhammadiyah bisa menyiapkan top-down approach strategy yang diinisiasi oleh Pimpinan Pusat Muhammadiyah agar mampu mewujudkan mimpi Muhammadiyah memiliki bank syariahnya sendiri. Seluruh jaringan keuangan Muhammadiyah harus kompak berbankan satu dengan saling men-support BPRS Muhammadiyah. Karena itu, yang dikedepankan ialah spirit Persyarikatan Muhammadiyah, bukan lagi kepentingan kelompok antaramal usaha Muhammadiyah. 

Jika mau dilihat dari sisi potensi, saat ini dana Muhammadiyah yang disimpan di beberapa bank syariah berasal dari sejumlah institusi amal usaha di bawah Muhammadiyah. Per hari ini saja, jaringan amal usaha Muhammadiyah memiliki ribuan ekosistem di bidang pendidikan dan kesehatan, ada lebih dari 162 perguruan tinggi (pascamerger beberapa universitas dan institut, sebelumnya ada 172), 135 rumah sakit ditambah 370 klinik kesehatan, 340 Pesantren, dan sekitar 28 ribu lembaga pendidikan yang dimiliki Muhammadiyah, termasuk amal usaha di bawah aisiyah, yaitu TK dan PAUD sebanyak 14.000.

Selain itu, Muhammadiyah juga memiliki ekosistem keuangan yang terdiri atas 170 Baitut Tamwil Muhammadiyah (BTM), bahkan ada yg asetnya mencapai setengah triliunan rupiah. Ditambah lagi ada 30 lebih BPRS yang dimiliki oleh Muhammadiyah dan warga Muhammadiyah. Meskipun yang secara resmi milik Muhammadiyah hanya ada 3 BPRS dan 1 BPR yang saat ini sedang konversi menjadi BPRS.

Kekuatan itu bisa bertambah lebih kuat lagi karena saat ini ada sekitar 270 BUMM (perusahaan di bawah kendali Muhammadiyah) yang akan mampu menopang business-line Muhammadiyah. Ini merupakan potensi yang luar biasa besar sekali jika ini dikonsolidasikan sebagaimana moto dan target Muhammadiyah ingin bank ini mampu meningkatkan taraf hidup umat, bank untuk semua, bukan hanya korporasi besar saja menjadi sebuah kenyataan. 

Dari sisi nama dan logo, ada beberapa nama potensial yang akan menjadi cikal bakal BPRS skala besar milik Muhammadiyah. Salah satunya ialah dengan logo BSM yang saat ini dimotori oleh BPR Matahari Artadaya di Tangerang Selatan yang akan berencana menjadi motor bank syariah Muhammadiyah di Jabodetabek. BSM ialah kepanjangan dari Bank Syariah Matahari (PT BPRS Bank Syariah Matahari), tapi logo ini bisa diganti dengan Bank Syariah Muhammadiyah jika pimpinan dan warganya ingin memberi nama secara langsung sebagai ikon bahwa bank ini milik Persyarikatan Muhammadiyah.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |