Ekonomi RI Tumbuh 4,87 Persen, Terlemah sejak 2022

4 hours ago 2

PERTUMBUHAN ekonomi nasional hanya mencatat 4,87% secara tahunan (year-on-year/yoy), pada triwulan I 2025. Angka ini bukan hanya lebih rendah dari kuartal sebelumnya, tetapi juga menjadi yang paling lemah dalam empat tahun terakhir.

Kontraksi juga tercatat sebesar -0,98% dibandingkan triwulan IV 2024, yang sebelumnya tumbuh 5,04% yoy. Bila ditarik ke belakang, triwulan I 2024 justru mencatat pertumbuhan lebih tinggi, yakni 5,11%.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti, menyatakan bahwa Produk Domestik Bruto (PDB) atas dasar harga konstan (ADHK) turun dari Rp3.296,7 triliun menjadi Rp3.264,5 triliun. Sementara PDB atas dasar harga berlaku (ADHB) juga mengalami penurunan dari Rp5.674,9 triliun ke Rp5.665,9 triliun.

"Jika dibandingkan kuartal IV 2024, ekonomi Indonesia terkontraksi minus 0,98%," ujar Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (5/5).

Ia menjelaskan bahwa pola perlambatan ekonomi dari kuartal IV ke kuartal I memang berulang dari tahun ke tahun. Namun, laju pada triwulan I 2025 menjadi yang terendah sejak 2022, ketika Indonesia masih dalam fase pemulihan pascapandemi.

Sektor Riil: Tumbuh Tapi Tak Solid

Lima sektor utama masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi, meskipun tidak semua menunjukkan performa maksimal. Pertanian mencetak pertumbuhan tertinggi sebesar 10,52% yoy. Perdagangan tumbuh 5,03%, sementara industri pengolahan—sektor terbesar dalam struktur ekonomi—tumbuh 4,55%.

Konstruksi hanya tumbuh 2,18%. Sementara itu, sektor pertambangan justru mengalami kontraksi sebesar -1,23%.

Pertambangan terpukul oleh dua faktor utama: menurunnya permintaan global dan penghentian sementara operasi tambang tembaga dan emas di Papua Tengah untuk keperluan pemeliharaan. Sub-sektor bijih logam bahkan mencatat kontraksi tajam sebesar 11,83%.

Pengeluaran Rumah Tangga Jadi Benteng Terakhir

Dari sisi pengeluaran, konsumsi rumah tangga tetap menjadi jangkar utama pertumbuhan dengan kontribusi sebesar 54,53% terhadap PDB dan pertumbuhan 4,89% yoy.

Sementara itu, pembentukan modal tetap bruto (PMTB) atau investasi hanya tumbuh 2,12%. Ekspor tumbuh 6,78%, sedangkan konsumsi pemerintah justru menurun -1,38%. Impor naik 3,96%, namun berdampak negatif terhadap PDB sebesar -19,74%.

Data ini menunjukkan sektor publik mulai menahan belanja, sementara investasi belum cukup kuat untuk menggantikan daya dorongnya. Alhasil, konsumsi domestik menjadi satu-satunya benteng pertahanan ekonomi.

Meskipun pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan I 2025 masih positif, tren pelambatan menjadi sinyal peringatan dini. Dalam konteks tekanan global dan transisi pascapemilu, angka 4,87% bukan sekadar angka statistik, melainkan refleksi atas stagnasi struktural.

Tanpa langkah kebijakan yang progresif dan reformasi ekonomi yang lebih dalam, Indonesia berisiko terjebak dalam zona pertumbuhan rendah yang tidak cukup untuk menciptakan lapangan kerja, mengatasi kemiskinan, atau memperkuat daya saing jangka panjang (Z-10)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |