
KETUA Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat Kiai Asrorun Niam Sholeh menegaskan kembali hasil keputusan Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV yang digelar di Cipasung, Tasikmalaya, bahwa vasektomi hukumnya haram kecuali ada alasan syari.
Hal itu menyusul rencana Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi untuk menjadikan vasektomi sebagai syarat keluarga bisa menerima bantuan sosial (bansos) hingga beasiswa.
“Islam membolehkan KB sebagai mekanisme pengaturan keturunan dengan syarat jenis dan caranya tidak melanggar syariat. Sementara, vasektomi merupakan jenis kontrasepsi dengan pemandulan tetap dan itu terlarang,” tegas Kiai Niam, Senin (5/5).
Kiai Niam menegaskan, persyaratan vasektomi dalam kebijakan bantuan sosial adalah kebijakan yang harus dikoreksi.
“Dengan demikian, mengaitkan bantuan sosial dengan syarat vasektomi, padahal itu terlarang secara syar'i, membuat kebijakan tersebut harus dikoreksi dan jika tetap dipaksakan, tidak boleh ditaati,” seru Pengasuh Pesantren An Nahdlah Depok itu.
Kiai Niam berpesan setiap pengambilan kebijakan publik harus didasarkan pada kajian mendalam dan dengan penuh kebijaksanaan. Jangan sampai niat baik akan melahirkan penolakan karena dilakukan dengan cara dan proses yang tidak baik.
“Kebijakan publik tanpa kajian mendalam bisa tersesat dan menimbulkan kegaduhan. Ini bisa kontraproduktif. Karenanya perlu diskusi mendalam. MUI siap memberi masukan untuk kemaslahatan. Jangan sampai menjadi beban Presiden. Di satu sisi, Presiden secara serius mewujudkan kesejahteraan masyarakat, sementara di bawahnya membuat kebijakan yang bisa memantik resistensi,” tegasnya.
Fatwa terkait vasektomi ini sebenarnya dibahas berkali-kali, seiring dengan perkembangan teknologi, khususnya di bidang kedokteran.
Ini menunjukkan bahwa fatwa itu sifatnya dinamis dan adaptif terhadap perkembangan ilmu pengetahuan. Perkembangan ilmu pengetahuan dapat dijadikan dasar dalam melakukan telaah ulang atas fatwa, termasuk kemungkinan mengubah hukum.
Hanya saja, informasi perkembangan tata cara pelaksanaan vasektomi, mulai 1979, kemudian 2009, dan terakhir 2012, belum menunjukkan adanya perubahan berarti yang dapat mengubah status hukum haram vasektomi.
MUI pertama kali membahas fatwa tentang vasektomi dan tubektomi pada 1979, hukumnya haram.
Berikutnya, pada 2009 ada pertanyaan dari BKKBN terkait dengan adanya teknologi baru dalam praktek vasektomi, dengan kemungkinan rekanalisasi, atau penyambungan kembali setelah tindakan vasektomi.
Setelah mendengar pandangan ahli kedokteran dan dilakukan pengkajian mendalam, para Ulama Fatwa se-Indonesia yang berkumpul di Padang Panjang menyepakati vasektomi hukumnya tetap haram.
“Vasektomi sebagai alat kontrasepsi KB sekarang ini dilakukan dengan memotong saluran sperma. Hal itu berakibat terjadinya kemandulan tetap. Upaya rekanalisasi (penyambungan kembali) tidak menjamin pulihnya tingkat kesuburan kembali yang bersangkutan. Oleh sebab itu, Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia memutuskan praktek vasektomi hukumnya haram,” begitu bunyi keputusan Ijtima Ulama Tahun 2009.
Berikutnya, pada 2012, BKKBN kembali menanyakan hukum vasektomi, mengingat ada informasi terbaru kembali terkait praktek kedokterannya. Namun, para ulama tetap menetapkan hukum haram kecuali kondisi tertentu yang sejalan dengan syariah.
Dalam fatwa tersebut ditetapkan bahwa praktik vasektomi tetap dihukumi haram, kecuali dalam kondisi tertentu yang memenuhi lima syarat ketat.
Lima syarat tersebut adalah vasektomi dilakukan untuk tujuan yang tidak menyalahi syariat; tidak menyebabkan kemandulan permanen; ada jaminan medis bahwa rekanalisasi bisa dilakukan dan fungsi reproduksi pulih seperti semula; tidak menimbulkan mudharat bagi pelakunya; serta tidak dimasukkan dalam program kontrasepsi mantap.
Kiai Niam menambahkan, meskipun teknologi memungkinkan rekanalisasi, bersandarkan keterangan ahli, tidak terjamin keberhasilannya dan tidak menjamin kesuburan kembali seperti semula. Karena itu, MUI merekomendasikan kepada pemerintah agar tidak mengampanyekan vasektomi secara terbuka dan massal.
"Pemerintah, termasuk Kementerian BKKBN, perlu transparan dan objektif dalam menyosialisasikan vasektomi, termasuk menjelaskan biaya rekanalisasi yang mahal dan potensi kegagalannya. Tidak perlu mengampanyekan vasektomi secara terbuka dan massal, apalagi menyasar umat Islam," tegas Guru Besar Bidang Fikih ini mengingatkan.
MUI juga menekankan pentingnya edukasi kepada masyarakat untuk membangun keluarga yang bertanggung jawab, sehat, dan unggul, serta tidak melupakan tugas menyiapkan generasi penerus bangsa.
Penggunaan alat kontrasepsi, harus bertujuan untuk mengatur keturunan (tanzhim al-nasl), bukan untuk membatasi secara permanen (tahdid al-nasl) apalagi sebagai dalih gaya hidup bebas yang menyimpang dari ajaran agama.
Keputusan ini memperbarui fatwa serupa yang telah ditetapkan MUI pada 13 Juni 1979 dan kembali ditegaskan dalam Ijtima’ Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia III 2009 di Padang Panjang, yang menyatakan bahwa vasektomi adalah haram karena bersifat memandulkan secara tetap atau permanen. (Z-1)