Zakat bukan Transaksi Komersial: Kritik Atas Komodifikasi Filantropi Islam & Penguatan Baznas

5 hours ago 3
 Kritik Atas Komodifikasi Filantropi Islam & Penguatan Baznas Achmad Kholiq, Guru Besar Hukum dan Ekonomi Islam, UIN Syber Syeikh Nurjati Cirebon(Dok Pribadi)

DALAM beberapa dekade terakhir, terjadi pergeseran paradigma dalam hubungan antara agama dan ekonomi, terutama di tengah gempuran kapitalisme global dan ekspansi ekonomi Islam. Nilai-nilai spiritual Islam, termasuk zakat, mulai mengalami transformasi menjadi instrumen ekonomi yang dikemas dengan pendekatan bisnis. 

Zakat kini kerap diposisikan sebagai "investasi sosial", "bisnis keumatan", atau "transaksi ibadah" yang menjanjikan imbal hasil. Narasi semacam ini berisiko mereduksi zakat menjadi sekadar mekanisme redistribusi yang dikendalikan oleh logika keuntungan.

Secara teologis, zakat adalah ibadah mahdhah, bagian dari rukun Islam yang memiliki dimensi transendental dan sosial. Ia disyariatkan tidak hanya sebagai kewajiban individual, tetapi juga sebagai sarana pembersih jiwa dan harta, serta pembentuk solidaritas sosial (QS. At-Taubah: 103). Memahami zakat sebagai instrumen ekonomi yang tunduk pada prinsip profit dan efisiensi bukan hanya menyederhanakan hakikatnya, melainkan juga menyimpang dari maq??id al-syar?‘ah. 

Dalam praktik kontemporer, banyak lembaga zakat mengadopsi pendekatan korporatis untuk menarik minat masyarakat, seperti menggunakan istilah “portofolio kebaikan” atau “return sosial”. Ini menunjukkan adanya pergeseran dari zakat sebagai ibadah menuju produk komoditas.

Distorsi konseptual ini menimbulkan masalah epistemologis yang serius. Ketika zakat dikonstruksikan seperti akad muamalah, terjadi kekacauan dalam membedakan antara kewajiban spiritual dan transaksi komersial. 

Zakat memiliki karakter sebagai pengeluaran harta yang bersifat unilateralis, tanpa imbal balik, berbeda dengan akad bisnis yang berbasis pertukaran dan keuntungan. Konsepsi zakat sebagai instrumen investasi dapat mendorong masyarakat membayar zakat demi insentif duniawi, bukan karena kepatuhan kepada Allah, yang pada akhirnya menggerus nilai ikhlas yang merupakan syarat sahnya ibadah.

Merawat Konsep Teologis Zakat dari Ancaman Komersial

Zakat, yang bermakna suci dan tumbuh, memiliki tujuan spiritual dan sosial: menyucikan harta dan membentuk jiwa dermawan. Dalam Islam, zakat selalu dikaitkan dengan salat sebagai pilar utama agama (QS. Al-Baqarah: 43), serta diposisikan sebagai instrumen keadilan sosial, bukan alat pencipta nilai tambah ekonomi. Karena itu, zakat tidak seharusnya disamakan dengan akad muamalah seperti jual beli atau mudharabah yang berbasis keuntungan timbal balik.

Di tengah arus modernisasi dan logika pasar, muncul kecenderungan mengelola zakat dengan pendekatan teknokratik, seperti dana bergulir atau unit usaha berbasis zakat. Meskipun terlihat progresif, pendekatan ini berisiko mengaburkan batas antara ibadah dan transaksi ekonomi, serta menggeser nilai ubudiyyah menuju orientasi profit dan efisiensi. Akibatnya, zakat bisa kehilangan makna spiritualnya dan menjadi sarana riya’, seperti yang dikritik Imam Al-Ghazali.

Inovasi dalam pengelolaan zakat tetap dimungkinkan, tetapi harus menjaga kemurnian niat dan kejelasan posisi zakat sebagai ibadah tauqīfī  yang tunduk pada ketetapan wahyu, bukan hasil rekayasa manajerial. Kritik terhadap komodifikasi zakat bukan penolakan terhadap pemberdayaan mustahik, melainkan upaya menjaga agar zakat tidak berubah menjadi alat kepentingan duniawi. Hanya dengan tetap berpijak pada kesadaran tauhid dan nilai pengabdian, zakat akan terus berfungsi sebagai kekuatan moral dan sosial yang transformatif dalam Islam.

Menjaga Zakat dari Ancaman Komodifikasi dan Jerat  Kapitalisme

Dalam era kapitalisme religius, zakat kian terancam terkomodifikasi—direduksi dari ibadah transendental menjadi produk pasar dengan narasi “investasi akhirat” atau “return sosial”. Pendekatan manajerial oleh lembaga zakat yang mengadopsi logika bisnis, meski berdalih efisiensi, telah menggeser makna zakat dari kewajiban spiritual ke dalam sistem pertukaran yang sarat kepentingan duniawi. Ini berisiko menodai nilai ikhllhas dan mengaburkan relasi kasih antara muzakki dan mustahik.

Zakat sebagai ibadah tauqīfī tidak tunduk pada prinsip muamalah atau kalkulasi teknokratis seperti peningkatan aset atau ekspansi program. Namun kini, banyak lembaga mengelola dana zakat layaknya modal, bahkan menanamkannya dalam skema investasi, yang pada praktiknya lebih menguntungkan kelembagaan daripada mengentaskan kemiskinan. Pergeseran ini menandai distorsi teologis yang mendalam, saat maqāid al-syarī‘ah digunakan sebagai justifikasi manipulatif, bukan sebagai rujukan normatif.

Fenomena pseudo-syariah ini mengaburkan batas antara etika dan strategi, mengancam jantung spiritual umat Islam. Ketika zakat ditunaikan demi gengsi sosial, bukan karena ketundukan kepada Allah, maka esensinya sebagai ibadah pun sirna. Dalam jangka panjang, ini memperlemah ukhuwah dan memperlebar jurang sosial. Karenanya, diperlukan reposisi zakat sebagai ibadah murni yang berakar pada tauhid, bukan instrumen kapital. 

Literasi fikih zakat dan kesadaran teologis harus diperkuat, agar pengelolaan zakat tidak hanya efisien, tetapi juga sah secara syar‘i dan luhur secara ruhani. Menjaga kesucian zakat dari jerat komodifikasi adalah jihad intelektual sekaligus spiritual dalam mempertahankan nilai Islam dari distorsi zaman.

Rekonstruksi Pemahaman Zakat dalam Bingkai Filantropi Islam

Penempatan zakat sebagai ibadah mahdah menuntut pendekatan tauqīf, artinya pelaksanaannya harus sesuai dengan ketetapan wahyu, bukan dengan kalkulasi rasional semata. Namun keistimewaan zakat justru terletak pada perpaduan antara ibadah spiritual dan dampak sosialnya, menjadikannya ibadah ijtima‘i sekaligus. Dalam kerangka filantropi Islam, zakat bukan hanya alat distribusi harta, tetapi juga sarana penyucian diri dan restorasi sosial. 

Maka, ketika zakat direduksi menjadi alat investasi atau branding kelembagaan, maka nilai-nilai taʿabbudiyyah dan ihsan yang melekat padanya menjadi terkikis. Urgensi literasi zakat menjadi sangat penting dalam konteks ini. Para muzakki perlu memahami bahwa zakat bukan sekadar kewajiban administratif, tetapi bentuk ibadah yang memiliki landasan etis dan spiritual. 

Demikian pula, lembaga amil zakat dituntut memiliki kapasitas fikih dan moral agar tidak terjebak dalam pembenaran praktik-praktik pragmatis yang berkedok syariah. Literasi yang kuat dapat mencegah zakat dijadikan objek kapitalisasi melalui label pseudo-syariah yang justru bertentangan dengan maqāid zakat itu sendiri.

Transparansi dan amanah harus menjadi prinsip utama dalam tata kelola zakat, bukan sekadar jargon kelembagaan. Prinsip-prinsip seperti sidq (jujur), ʿadālah (adil), dan amanah (bertanggung jawab) harus melekat dalam seluruh proses penghimpunan hingga distribusi zakat. 

Profesionalisme harus berjalan berdampingan dengan spiritualitas, bukan menggantikannya. Penyalahgunaan dana zakat untuk pencitraan institusional atau ekspansi modal tanpa kontrol syariah yang ketat merupakan bentuk penyimpangan serius terhadap tujuan zakat sebagai instrumen keadilan sosial dan penyucian harta.

Dalam merumuskan kebijakan zakat ke depan, pendekatan maqāid al-syarīʿah harus digunakan secara autentik dan tidak manipulatif. Tujuan-tujuan syariat seperti perlindungan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta harus diartikulasikan dalam kebijakan distribusi yang berpihak pada kelompok rentan dan miskin. 

Zakat harus tetap menjadi mekanisme perlindungan sosial dan penguatan umat, bukan sebagai alat untuk justifikasi investasi atau akumulasi aset kelembagaan. Tidak ada maqāid  yang membenarkan penimbunan dana zakat atau manipulasi distribusi demi laba institusional.

Dengan demikian, rekonstruksi pemahaman zakat merupakan gerakan moral dan intelektual untuk mengembalikan zakat kepada maqam-nya yang suci. Evaluasi kritis terhadap praktik kelembagaan harus dilakukan secara terbuka, dengan keberanian untuk meninggalkan paradigma performatif yang berorientasi target dan keuntungan. Sebaliknya, perlu ditegaskan kembali nilai-nilai keikhlasan, keadilan, dan kesadaran transendental sebagai pondasi utama sistem zakat Islam.

Penguatan Baznas sebagai Penjaga Kemurnian Zakat

Baznas, sebagai lembaga negara yang sah dalam pengelolaan zakat, memegang peran strategis secara teologis, yuridis, dan sosiologis. Di tengah komodifikasi zakat yang kian marak, keberadaan Baznas tidak hanya bersifat administratif, melainkan menjadi benteng ideologis dalam menjaga maqāid  zakat sebagai ibadah mahdah yang tunduk pada prinsip tauqīfī,  bukan pada logika pasar dan efisiensi bisnis. 

Marginalisasi Baznas berisiko menyerahkan zakat kepada pengelolaan lembaga swasta yang kurang akuntabel secara syar‘i dan berpotensi menggeser zakat dari instrumen keadilan sosial menjadi komoditas ekonomi. Dalam konteks ini, Baznas menjamin pelaksanaan zakat berdasarkan nilai ʿubūdiyyah, taʿāwun dan ihsan, dengan pengawasan negara sebagai jaminan integritas dan akuntabilitas.

Secara epistemik, Baznas menjaga otoritas fikih zakat agar tetap berporos pada maq??id al-syar??ah yang autentik, tidak direduksi oleh kepentingan institusional. Dengan kapasitas regulatif dan akademik, ia menjadi penghubung antara syariat dan kebijakan publik dalam tata kelola keuangan sosial Islam. Di tengah problem struktural seperti kemiskinan dan ketimpangan, peran Baznas semakin vital sebagai instrumen distribusi hak-hak mustahik yang berbasis data nasional dan berkelanjutan.

Mempertahankan Baznas berarti menjaga kemurnian zakat dari privatisasi yang menyimpang, memperkuat keadilan sosial, serta memastikan zakat tetap berada dalam orbit ibadah, bukan komersialisasi. Baznas merepresentasikan otoritas moral, legitimasi hukum, dan kapasitas struktural yang diperlukan untuk menjadikan zakat sebagai kekuatan transformatif dalam kehidupan berbangsa.

Dengan demikian, mempertahankan Baznas adalah bagian dari upaya menjaga integritas zakat sebagai ibadah, meneguhkan keadilan sosial dalam sistem kenegaraan, dan membendung arus privatisasi zakat yang melenceng dari substansi syariat. Zakat bukan ruang komersialisasi, dan karena itu ia membutuhkan lembaga yang memiliki otoritas moral, legitimasi hukum, dan kapasitas struktural yang teruji—dan itu diwujudkan secara nyata dalam keberadaan Baznas.

Penutup

Zakat bukanlah instrumen ekonomi yang netral, melainkan ibadah sakral yang dirancang untuk menumbuhkan kesalehan pribadi dan menciptakan transformasi sosial. Reduksi zakat menjadi komoditas pasar merupakan distorsi serius terhadap syariat. Oleh karena itu, pemaknaan zakat harus dikembalikan pada kerangka wahyu dan maqāid yang otentik. 

Pendekatan yang terlalu adaptif terhadap logika pasar akan merusak integritas hukum Islam dan melahirkan justifikasi semu yang membahayakan substansi ibadah zakat itu sendiri. Lembaga-lembaga amil zakat harus mereorientasikan diri pada prinsip spiritualitas, keikhlasan, dan tanggung jawab sosial. Prinsip akuntabilitas dan amanah harus dijalankan dalam bingkai nash, bukan sekadar kinerja manajerial. Ke depan, integrasi zakat dalam pembangunan sosial inklusif perlu dilakukan tanpa menjadikannya objek eksploitasi pasar. 

Kajian interdisipliner antara fikih zakat, etika Islam, dan teori pembangunan perlu dikembangkan untuk memastikan bahwa zakat tetap menjadi instrumen ilahiyah yang memuliakan manusia dan menegakkan keadilan sosial. Dalam konteks ini, Baznas memiliki peran strategis sebagai institusi negara yang tidak hanya menjamin tata kelola zakat yang sah secara hukum, tetapi juga sebagai penjaga otoritas moral dan spiritual zakat dari penetrasi nilai-nilai kapitalisme. Melalui penguatan peran normatif, edukatif, dan regulatifnya, Baznas dapat memastikan bahwa zakat tetap berada dalam orbit ibadah, bukan terjebak dalam logika pasar yang profan. (H-2)
 

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |