
Mantan Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia, Pdt Gomar Gultom, mendesak Ratu Thalisa dari segala tuntutan dan meminta membebaskan selebgram kota Medan tersebut. Sebelumnya, Ratu Thalisa atau Ratu Entok itu dipidana atas penistaan agama.
''Saya menyesalkan Keputusan Pengadilan Negeri (PN) Medan yang menjatuhkan hukuman penjara 34 bulan kepada selebgram Kota Medan Irfan Satria Putra Lubis alias Ratu Thalisa alias Ratu Entok, 40, dalam kasus dugaan penistaan agama (Senin, 10 Maret 2024),'' kata Ketua Majelis Pertimbangan PGI Pdt Gomar Gultom dalam rilis yang diterima Media Indonesia, Kamis (13/3).
Menurut Gomar, ke-Kristen-an sama sekali tidak ternodai dan tidak merasa terhina dengan aksi dan perkataan Ratu Thalisa melalui akun Tiktok-nya. Kekristenan menjunjung tinggi prinsip kebebasan dan olehnya membuka ruang untuk segala bentuk ekspresi, termasuk kebebasan Ratu Thalisa dalam mengekspresikan pendapatnya.
''Hanya orang yang tidak mampu merayakan keberagaman yang merasa terganggu dengan itu, yang tidak dapat digeneralisasi sebagai ke-Kristen-an. Sejarah panjang ke-Kristen-an penuh dengan onak duri dan ragam pengambatan, tetapi Yesus sendiri berkata, 'ampunkanlah mereka Bapa.' Sudah, selesai begitu saja,'' ujar mantan Ketum PGI ini.
Oleh karenanya, tambahnya, mestinya kasus yang menjerat Ratu Thalisa, yang meminta Yesus mencukur rambutnya, tidak seharusnya dibawa ke ranah hukum. Kalaupun itu harus dimasukkan sebagai delik penghinaan atau penodaan agama, sebagaimana tuntutan jaksa, mestinya cukuplah diselesaikan dengan nasehat atau paling keras dengan teguran berupa peringatan.
Pasal 313 KUHP yang merupakan penyempurnaan Pasal 156a KUHP lama merupakan akomodasi dari UU Nomor 1/PNPS/1965. UU itu sendiri mengamanatkan demikian, cukup dengan nasehat atau teguran (ayat 2). Kalau sudah diperingatkan tetapi masih melakukan juga, barulah dibawa ke ranah hukum sebagai tindak pidana (ayat 3).
Penggunaan pasal-pasal dari Undang-Undang Nomor 11/2008 dan Nomor 1/2024, keduanya tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, hanya hendak membuktikan betapa bermasalahnya UU tentang Informasi dan Transasi Elektronik ini dari perspektif kebebasan berekspresi, dan menurut saya harus ditinjau ulang.
''Penggunaan segala bentuk blasphemy law dan turunannya sangat berbahaya secara fundamental, karena memberi kesempatan kepada negara berteologi, sesuatu yang mestinya dihindari, karena bukan ranahnya,'' kata Gomar lagi. ''Oleh karenanya, saya berharap Ratu Thalisa mengajukan banding, dan dengan ini saya mengimbau Pengadilan Tinggi mengoreksi Keputusan PN Medan tersebut dan serta merta membebaskan Ratu Thalisa,'' harap Gomar.(H-1)