
ORGANISASI Angkutan Sewa Khusus Indonesia (Oraski) menolak usulan DPR soal potongan komisi bagi pengemudi ojek online (ojol) oleh aplikasi menjadi maksimal 10%. Ketua Umum Oraski Fahmi Maharaja menyebut aturan soal komisi ojol itu akan menjadi preseden buruk bagi ekosistem angkutan sewa khusus atau transportasi online.
“Kami tidak setuju usul DPR soal potongan aplikasi maksimal 10 persen. Ini akan jadi preseden buruk karena ekosistem kami sudah terbentuk dengan baik dan terbukti mampu bertahan di tengah-tengah situasi ekonomi global yang sulit tanpa subsidi apapun dari pemerintah,” kata Fahmi melalui keterangannya, Senin (19/5).
Fahmi mengatakan potongan aplikasi ojol adalah ranah business to business, di mana pemerintah sebagai regulator tidak boleh mencampurinya. Ia mengatakan berkurangnya potongan aplikasi tidak akan membawa maslahat bagi driver online karena akan mengakibatkan tingginya tarif kepada konsumen dan menurunnya pendapatan driver.
“Jika DPR memaksakan untuk tetap masuk mengintervensi dengan menetapkan regulasi yang sebenarnya bukan kewenangannya kami khawatir ini justru akan mengakibatkan seluruh aplikator gulung tikar dan jika ini terjadi maka DPR dan pemerintah wajib bertanggung jawab kepada puluhan juta driver online yg akan kehilangan pekerjaannya,” lanjut Fahmi.
Sebelumnya, anggota Komisi V DPR RI Adian Napitupulu mengungkapkan wacana potongan aplikasi menjadi maksimal 10 persen.
“Para driver mengaku sangat berat akibat potongan-potongan dari aplikator yang sangat tinggi, bahkan ada yang mencapai 30 persen,” ungkap Adian.
Adapun, aturan komisi bagi pengemudi online telah diatur oleh pemerintah dalam Keputusan Menteri Perhubungan (KP) nomor 1001 tahun 2022. Aturan ini menetapkan biaya layanan atau komisi sebesar 20 persen dengan rincian biaya tidak langsung berupa biaya sewa penggunaan aplikasi paling tinggi sebesar 15% dan biaya penunjang sebesar 5 persen.
(H-3)