Pengamat: Distribusi Layar Digital Pintar tidak Bisa Dipukul Rata untuk Seluruh Sekolah

2 hours ago 2
 Distribusi Layar Digital Pintar tidak Bisa Dipukul Rata untuk Seluruh Sekolah Pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis.(Dok.MI)

TERKAIT rencana pemerintah untuk membagikan layar digital pintar atau smart digital screen untuk 330 ribu sekolah di seluruh Indonesia pada tahun ini, pengamat sosial dari Universitas Indonesia (UI), Rissalwan Habdy Lubis, mengatakan bahwa hal ini tidak dapat dipukul rata untuk semua sekolah.

“Dari sekian banyak sekolah di Indonesia ada memang sekolah yang memerlukan layar digital pintar. Tapi kalau memukul rata semua sekolah memerlukannya saya kira ini keliru,” ungkapnya kepada Media Indonesia, Minggu (14/9).

Lebih lanjut, menurut Rissalwan di beberapa sekolah yang berada di wilayah 3T, jangankan listrik, tempat duduk saja mereka tidak memilikinya.

“Karena coba bayangkan, saya tidak tahu apakah pemerintah pernah mendatangi 330 ribu sekolah itu semua atau hanya melihat angka di atas kertas saja, misalnya ada sekolah yang jangankan listrik, tempat duduk saja bahkan tidak ada. Beberapa sekolah di daerah terpencil di Papua, Sulawesi, dan bahkan Jawa saja masih ada sekolah yang seperti itu,” tegas Rissalwan.

Menurutnya gagasan ini sebetulnya merupakan hal yang baik, hanya saja tidak memperhitungkan mengenai kondisi nyata di berbagai sekolah yang ada di Indonesia.

“Jadi bagaimana mungkin dia mau pakai layar digital pintar ini. Listriknya saja tidak ada. Jadi miris sekali ya. Gagasan ini sebetulnya bagus tapi seperti tidak memperhitungkan kondisi di lapangan,” jelasnya.

Alih-alih menjadi program yang bermanfaat di sekolah, Rissalwan juga melihat ada kecenderungan mengulangi penyimpangan yang ada saat pengadaan Chromebook di pemerintah sebelumnya.

“Pengadaan ini rentan sekali. Jadi lebih baik fokus pada pengadaan kebutuhan sekolah yang memang nyata. Sekolah memang jumlahnya ada ribuan, tapi kebutuhannya berbeda. Coba dibuat kategori, ada sekolah yang siap digitalisasi, tapi ada juga sekolah yang membutuhkan literasi dasar,” ujar Rissalwan.

“Bayangkan di tingkat SMP yang saya temui di suatu daerah itu bisa membaca tapi tidak paham artinya. Ini kan artinya minim literasi kan. Jadi masih ada yang standarnya rendah sekali. Jadi lebih baik fokus pada perbaikan kualitas pendidikannya daripada fokus fasilitas pendidikannya,” pungkasnya. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |