
MAHASISWA internasional di Harvard mengaku mengalami “kepanikan total” di tengah langkah pemerintahan Trump yang melarang pendaftaran mahasiswa asing. Para mahasiswa dari berbagai negara mengatakan mereka kini harus menghadapi kemungkinan visa dicabut, riset ditangguhkan, dan dilarang kembali masuk ke Amerika Serikat jika mereka pulang di musim panas ini.
“Sangat jelas, sangat ketakutan karena mereka tidak tahu status hukum mereka saat ini," kata presiden badan mahasiswa Harvard, Abdullah Shahid Sial, yang berasal dari Lahore, Pakistan, kepada CNN.
Diketahui, hakim federal menghentikan sementara larangan dari pemerintahan Trump pada hari Jumat, setelah universitas tertua dan terkaya di AS itu mengajukan gugatan ke pengadilan federal. Harvard berargumen pencabutan sertifikasinya dalam Program Mahasiswa dan Pertukaran Pelajar merupakan “balasan yang jelas” atas penolakannya terhadap tuntutan kebijakan pemerintah yang didasarkan pada ideologi.
Sekitar 27% dari seluruh mahasiswa Harvard adalah internasional, dengan 6.793 mahasiswa sarjana dan pascasarjana internasional yang berasal dari hampir setiap negara di dunia.
“Harvard adalah Harvard karena kemampuannya menarik orang-orang – orang-orang terbaik – dari seluruh dunia, bukan hanya dari Amerika Serikat,” kata Sial kepada CNN, Jumat. “AS juga sangat diuntungkan dengan kedatangan para mahasiswa terbaik dunia untuk belajar di universitas ini. Tapi sekarang mereka telah didehumanisasi dan tidak dihormati.”
Sebagai presiden badan mahasiswa, ia sedang mendorong universitas membantu mahasiswa internasional yang ingin pindah ke universitas lain. Selain agar bantuan keuangan mereka bisa ikut ditransfer. Namun, sebagian besar universitas sudah menutup pendaftaran untuk semester musim gugur, kata Sial.
Mahasiswa Yahudi ‘Dijadikan Bidak Politik’
Seorang mahasiswa postdoktoral asal Israel yang sedang belajar di Harvard mengatakan ia merasa mahasiswa Yahudi “dijadikan bidak” oleh pemerintahan Trump. Di mana menuduh universitas menciptakan lingkungan kampus yang tidak aman dan “bermusuhan terhadap mahasiswa Yahudi” serta “mengadopsi praktik keragaman dan inklusi yang rasis.”
Mahasiswa Israel tersebut, yang tidak ingin disebutkan namanya karena takut ditolak masuk kembali ke AS, mengatakan ia percaya pemerintahan Trump “menggunakan” universitas untuk “bertarung melawan dunia akademik dalam skala yang jauh lebih besar daripada hanya Harvard.”
“Jadi, saya merasa kami sedang dimanfaatkan,” ujarnya. “Saya tidak ingin mengecilkan pengalaman siapa pun di universitas ini. Saya tahu beberapa orang mengalami masa sulit, tapi saya pribadi benar-benar percaya dan yakin pada pimpinan kami.”
Seorang mahasiswa magister asal Israel lainnya di Harvard, yang juga tidak ingin disebutkan namanya, mengatakan kepada CNN bahwa “sangat penting bagi orang Israel dan Yahudi untuk datang ke sini dan tetap teguh pada keyakinannya … Dan bukan hanya di Harvard, saya rasa ini juga penting di dunia akademik Amerika secara luas, lebih dari sebelumnya.”
Peneliti Muda Mengatakan Akan Tinggalkan AS
Seorang mahasiswa pascasarjana dari Australia, yang berbicara dengan syarat anonim, mengatakan kepada CNN “rasanya luar biasa bahwa kami semua dihukum” atas aktivisme kampus.
“Sebagai mahasiswa pascasarjana, kami sepenuhnya sibuk dengan riset kami, yang saya kerjakan 80 hingga 100 jam seminggu,” kata mahasiswa Australia tersebut, seraya menambahkan bahwa konflik antara pemerintahan Trump dan Harvard kemungkinan akan menyebabkan banyak peneliti meninggalkan negara ini. “Jika situasi benar-benar memburuk, saya akan mencoba pindah ke universitas di Inggris.”
Mahasiswa pascasarjana lainnya juga mengatakan mereka merasa takut dan tidak pasti, dengan kekhawatiran terhadap riset, karier masa depan, dan orang-orang tercinta. “Dampaknya juga bisa ke keluarga – pasangan, anak-anak, pendaftaran sekolah mereka, status kerja mereka, sewa rumah, tempat tinggal, semuanya,” kata Fangzhou Jiang, 30, dari Tiongkok.
Menghadapi Deportasi
Bagi sebagian mahasiswa internasional, terutama yang berasal dari negara yang sedang dilanda perang atau gejolak politik, taruhannya jauh lebih besar. Maria Kuznetsova, mantan juru bicara OVD-Info, sebuah lembaga pemantau HAM independen di Rusia, saat ini adalah mahasiswa pascasarjana di Harvard Kennedy School of Government. Ia akan lulus dalam satu minggu dan telah berencana bekerja dengan visa yang disponsori Harvard yang sudah disetujui, tetapi kini khawatir visanya bisa dibatalkan.
“Saya dulu bekerja di bidang hak asasi manusia di Rusia dan termasuk oposisi, yang berarti saya tidak bisa kembali ke Rusia,” kata Kuznetsova kepada CNN. “Dan karena saya sudah tinggal di AS selama dua tahun terakhir, saya bahkan tidak memiliki visa Eropa. Jadi saya benar-benar tidak tahu secara geografis saya bisa pergi ke mana jika semuanya gagal.”
“Bukan hanya saya dari Rusia di sini – ada juga banyak warga Ukraina, mahasiswa politik dari Venezuela, dan orang-orang dari Afghanistan serta Palestina. Saya bahkan punya teman sekelas dari Korea Utara. Ini adalah orang-orang yang secara harfiah tidak bisa kembali ke negara asal mereka,” tambahnya.
Ivan Bogantsev, juga dari Rusia, berencana tinggal di AS setelah menyelesaikan programnya di Harvard Graduate School of Education. Istrinya, yang saat ini berada di Rusia dan juga memiliki visa yang disponsori Harvard, dijadwalkan datang untuk menghadiri kelulusannya, tetapi ia tidak yakin apakah istrinya akan diizinkan masuk.
“Tidak ada yang bisa menjelaskan apakah kami berisiko dideportasi atau tidak,” kata Bogantsev kepada CNN.
Namun ia mengatakan bahwa kembali ke Rusia bukanlah pilihan. “Saya pernah ditahan saat ikut unjuk rasa di Rusia, dan bisa dibilang suasananya semakin mencekam. Selain itu, sebagian besar teman saya kini sudah dicap sebagai kriminal, pengkhianat, atau agen asing.”
‘Kampus Harvard Tidak Akan Sama Lagi’
Leo Gerdén, dari Swedia, yang dijadwalkan lulus minggu depan, mengatakan kepada CNN bahwa beberapa temannya yang masih di Harvard “sedang membuat rencana untuk pindah ke institusi lain, terutama ke luar negeri.”
“Saya semula menantikan momen perayaan kelulusan minggu depan, tapi sekarang, saya mungkin akan meninggalkan tempat ini dan semester depan tidak akan sama lagi – karena tanpa mahasiswa dan peneliti internasional, kampus Harvard tidak akan sama,” kata Gerdén.
“Kami pada dasarnya sedang dijadikan seperti chip poker dalam pertempuran antara Gedung Putih dan Harvard, dan jujur saja, rasanya sangat tidak manusiawi.” (CNN/Z-2)