Industri Kehutanan Masuki Fase Sunset, Pakar Minta Reformasi Regulasi

2 hours ago 3
Industri Kehutanan Masuki Fase Sunset, Pakar Minta Reformasi Regulasi Pekerja mengangkut olahan kayu di Cikembar, Kabupaten Sukabumi.(Dok. Antara)

INDUSTRI kehutanan Indonesia kini menghadapi ancaman serius. Sektor yang dahulu menjadi penopang ekonomi, sekarang dinilai masuk kategori sunset industry karena kontribusinya terhadap perekonomian kian menyusut, investasi minim, sementara regulasi justru menambah beban bagi pelaku usaha.

Ekonom Celios, Nailul Huda, menyoroti turunnya kontribusi kehutanan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) yang kini hanya 0,36 persen, merosot dari 0,7 persen. “Investasi domestik di sektor kehutanan cuma sekitar 1 persen, sedangkan asing hanya 0,02 persen. Padahal kalau dikelola optimal, industri kayu bisa menjadi pengungkit ekonomi,” ujarnya dalam diskusi Forum Wartawan Pertanian bertajuk Ketelusuran Industri Kayu Indonesia: Tantangan dan Solusi, Senin (8/9) di Jakarta.

Huda menambahkan, meski produksi kayu meningkat, justru industri hilir seperti gergajian dan kayu lapis mengalami penurunan. Kinerja ekspor pun lesu dalam empat tahun terakhir, meski sebelumnya sempat tumbuh pada dekade lalu.

Pakar kehutanan IPB, Sudarsono Sudomo, menyoroti regulasi yang dianggap lebih membebani ketimbang membantu, seperti penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK). Menurutnya, kebijakan tersebut jarang memberi manfaat nyata bagi petani dan pelaku usaha kecil. “Setiap aturan pasti menimbulkan biaya. Idealnya, manfaat lebih besar daripada beban. Tapi kenyataannya, aturan seringkali lebih mahal daripada hasilnya. Petani kecil bahkan banyak yang tidak tahu keberadaan sertifikat SVLK,” jelasnya.

Sudarsono juga menegaskan bahwa pengusahaan hutan alam bukan faktor utama deforestasi. Alih fungsi lahan untuk perkebunan maupun sektor non-kehutanan jauh lebih dominan.

“Hutan alam secara biologis bisa terbarukan, tapi secara finansial belum tentu. Insentif ekonomi dan investasi di sektor ini sangat kecil dibandingkan perkebunan atau perikanan,” tambahnya.

Data historis mencatat, sejak 1990 hingga 2023 jumlah perusahaan, luas areal, dan produksi kayu terus menyusut. Dari sekitar 600 perusahaan yang beroperasi di hutan alam, kini hanya tersisa 250 yang masih aktif.

Pengamat kehutanan Petrus Gunarso menilai framing internasional seringkali merugikan kayu Indonesia. Ia mencontohkan pemberitaan The New York Times yang menyoroti pasokan kayu untuk industri RV di Amerika Serikat. “Yang diekspor ke Amerika kebanyakan justru kayu sisa dari land clearing HTI. Itu legal, tapi digambarkan seolah-olah pembalakan liar,” katanya.

Petrus juga mengkritisi perbedaan definisi deforestasi antara lembaga internasional dan kondisi riil di lapangan. “Kalau hutan alam jadi hutan tanaman, apakah itu deforestasi? Bagi WWF, iya. Padahal secara produktivitas, hutan tanaman seperti eukaliptus bisa dipanen dalam enam tahun,” jelasnya.

Para pakar sepakat, tanpa reformasi kebijakan dan dorongan investasi, industri kehutanan akan semakin terpuruk. Sektor yang dahulu berjaya kini kehilangan daya saing dan kalah pamor dibandingkan perkebunan atau perikanan.

“Jika hutan bisa menyejahterakan masyarakat, maka hutan itu pasti dilestarikan. Yang dibutuhkan adalah aturan yang mendukung, bukan aturan yang justru mematikan industri,” pungkas Sudarsono. (H-3)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |