
UPAYA perlindungan hutan yang berjalan saat ini sering kali tidak beriringan dengan investasi yang ditanam dan lakukan para pengusaha. Padahal. proteksi hutan disebut sebagai hal yang krusial diperhatikan demi dampak investasi jangka panjang, baik untuk ekosistem, masyarakat, maupun ekonomi.
Perlindungan ekosistem yang masih utuh seperti hutan alami, pesisir, laut, dan lanskap sering dipandang 'kurang seksi' bagi investor bila dibandingkan dengan proyek restorasi. Padahal, menjaga yang ada sama pentingnya dengan memulihkan yang rusak.
Direktur Conservation Strategy Fund (CSF), Desta Pratama, mengatakan, pandangan mengenai restorasi yang lebih mudah dilakukan bukan hal tepat. Ia mencontohkan, masyarakat adat yang menjaga hutan seringkali memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi dibanding masyarakat kota, itu karena mereka mampu memanfaatkan hutan secara berkelanjutan.
“Tanah yang dijaga dan dikelola secara adat atau turun temurun memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Salah satu syaratnya, property rights harus ada di tangan masyarakat adat atau komunitas asli di sana. Ini akan memberikan kepastian untuk menyusun strategi pengelolaan berbasis komunitas, serta membangun model usaha yang bisa menjadi landasan dari protection-based financing,” ujar Desta dalam keterangan tertulis usai panel diskusi Green Resilience by Protection: Unlocking Ecosystem-Based Financing to Secure Indonesia’s Living Ecoscapes yang digelar Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) dan Katadata Sustainability Action for the Future Economy (SAFE) 2025, Senin, (15/9).
Dari perspektif investor, pendanaan untuk perlindungan hutan memang berbeda dengan restorasi. Skala pendanaan proteksi seringkali dianggap lebih kecil nilainya dibanding restorasi, padahal dampaknya terhadap masyarakat dan lanskap justru sama besarnya. Sumber pendanaan pun sebenarnya sudah beragam, mulai dari global value chain, bilateral, hingga multilateral, yang bisa diarahkan untuk mendukung proteksi.
“Penting bagi investor untuk berorientasi pada dampak jangka panjang melalui kombinasi kapital finansial, sosial, dan pengetahuan. UMKM di sekitar hutan seringkali minim akses modal dan pengetahuan, padahal merekalah penopang utama ekosistem ekonomi di kawasan tersebut," kata Direktur Angin Advisory, Saskia Tjokro.
Dalam diskusi tersebut juga ditekankan bahwa keberhasilan investasi hijau ditentukan oleh dua hal: kesiapan masyarakat dan keberpihakan investor. Karena itu, keterlibatan masyarakat sebagai aktor utama menjadi syarat mutlak dalam setiap upaya proteksi maupun restorasi.
Selain itu, pendanaan hijau disebut harus menjangkau hingga tingkat tapak, memberi ruang bagi masyarakat lokal untuk berdaya, sekaligus membangun kepercayaan investor melalui instrumen yang tepat. Dengan sinergi antara pemerintah, investor, lembaga perantara, dan masyarakat sipil, pendanaan hijau dapat menjadi motor penting menuju bioekonomi yang bertanggung jawab dan berkelanjutan.
“Melalui fasilitas dana bergulir, kami berupaya menjembatani masyarakat agar lebih mudah mengakses pembiayaan. Pohon bisa menjadi jaminan, tetapi tetap harus dijaga. Skema ini bukan hanya mendukung usaha produktif, tapi juga memastikan kelestarian hutan," kata Direktur Penyaluran Dana BPDLH, Damayanti Ratunanda. (H-3)