Kontekstualisasi Pengharapan

2 hours ago 2
Kontekstualisasi Pengharapan (Dok. Wikipedia)

GEREJA Katolik Indonesia kembali menyelenggarakan Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) pada 3–7 November 2025 di Jakarta. SAGKI 2025 mengambil tema Berjalan bersama sebagai peziarah pengharapan: Menjadi gereja sinodal dan misioner untuk perdamaian. Tema ini hadir di saat Indonesia—bahkan dunia—sedang berjuang melawan keruntuhan ekologis, kesenjangan ekonomi, dan permusuhan sosial-politik.

Di saat-saat seperti ini, bahasa pengharapan berisiko terdengar sentimental—atau bahkan seperti terasing dari kenyataan. Bagaimanapun, SAGKI 2025 mengusung sebuah iktikad transformatif. Pengharapan tidak boleh terjebak dalam kerangkeng optimisme abstrak. Dia niscaya menjadi praktik moral yang nyata. Pengharapan adalah jalan yang harus ditempuh—terutama di tengah kekecewaan dan kerapuhan.

INGATAN

Ingatan adalah akar pengharapan. Setiap komunitas menyimpan kenangan akan ketahanan. Momen-momen ketika orang memilih kerja sama daripada keputusasaan, welas asih daripada ketidakpedulian. Kisah keindonesiaan—dari kemerdekaan hingga reformasi, dari berbagai bentuk krisis hingga pemulihan sosial—bukanlah narasi kemajuan yang mulus, melainkan mosaik keberanian mengelola kerentanan.

Namun, ingatan sejati haruslah kritis. Mengingat tanpa refleksi kritis dapat melanggengkan mitos-mitos persatuan yang cenderung membungkam sejarah marginalisasi sosial. Proses meniadakan pengalaman-pengalaman ketertindasan dari ingatan bersama (nasional) akan menutup pintu pengharapan sosial. Dengan demikian, kontekstualisasi pengharapan mesti berangkat dari ‘politik mengingat’ yang inklusif—sekaligus kritis terhadap diri sendiri.

Teolog Miroslav Volf (2015) berpendapat bahwa pengharapan sejati harus muncul dari ‘mengingat dengan benar’—bukan melalui nostalgia, melainkan melalui penegasan moral yang memurnikan ingatan dari dendam dan penyangkalan. Di Indonesia, hal ini berarti merebut kembali kebenaran sejarah dan mengubah ingatan yang menyakitkan menjadi energi moral untuk rekonsiliasi.

SOLIDARITAS

Solidaritas adalah tempat pengharapan menjadi nyata. Sebagai tubuh pengharapan. Mengharapkan perubahan saja tidak cukup; kita harus mewujudkannya melalui komitmen bersama. Namun, di era yang dibentuk oleh individualisme digital dan polarisasi politik, solidaritas menghadapi erosi. Persaingan ekonomi dan politik berbasis identitas memecah belah tubuh sosial, mengubah perbedaan menjadi perpecahan.

Gotong royong Indonesia—etika gotong royong—telah lama melambangkan solidaritas sosial. Namun, pertanyaannya ialah, apakah etika ini masih berfungsi melampaui retorika seremonial. Degradasi lingkungan, perdagangan manusia, dan penggusuran masyarakat lokal memperlihatkan ketegangan antara cita-cita kolektif dan realitas sosial.

Sosiolog Nancy Fraser (2020) mengingatkan kita bahwa solidaritas di abad ini haruslah rekonstruktif; bukan sekadar empati terhadap kaum miskin, melainkan juga perjuangan kolektif untuk membongkar sistem yang menghasilkan kemiskinan. Dalam pengertian ini, solidaritas menantang kita pada dua sisi. Pertama, proses menghadapi akar-akar ketimpangan ekonomi, gender, dan ekologi. Kedua, menjadikan keadilan dalam ruang kemakmuran bersama.

TANGGUNG JAWAB

Tanggung jawab adalah cakrawala pengharapan. Tanggung jawab berarti mengubah visi moral menjadi keberanian sosial (politik). Pengharapan mengajak kita untuk bertindak demi kebaikan bersama, alih-alih demi keuntungan pribadi dan kelompok. Dalam konteks Indonesia, di mana korupsi dan kelelahan moral sedang mengikis kepercayaan publik, harapan harus diwujudkan dalam bentuk tindakan yang akuntabel dan etis.

Tanggung jawab juga menuntut kesadaran ekologis yang baru. Kerentanan iklim di Indonesia—mulai dari naiknya permukaan laut hingga deforestasi—menuntut pergeseran dari eksploitasi sumber daya menjadi pengelolaan. Pengharapan sejati untuk masa depan tidak akan pernah muncul dari optimisme pasif, melainkan dari kepedulian yang bertanggung jawab terhadap rumah kita bersama (Paus Fransiskus, Laudato Si’, 2015). Di sinilah pengharapan menjadi gerak profetik. Dia tidak mengundang pelarian dari krisis, melainkan ikhtiar pertobatan di dalamnya.

MENUJU PENGHARAPAN PUBLIK

Dilihat melalui tiga dimensi ini, SAGKI 2025 bukan sekadar acara internal Gereja Katolik Indonesia—melainkan ajakan nasional untuk menemukan kembali harapan sebagai kebajikan publik. Metafora peziarah pengharapan berbicara melampaui batas-batas keagamaan. Hal ini membangkitkan perjalanan bersama—beragam tapi bersatu, terluka tapi tangguh, bergerak maju di tengah ketidakpastian.

Kontekstualiasi pengharapan niscaya menjadi bagian dari proses menumbuhkan imajinasi moral dalam kehidupan publik bangsa. Dia juga dapat menyentuh dialog lintas perbedaan. Memberi inspirasi bagi penubuhan welas asih yang dapat mendobrak apatisme. Fondasi bagi keberanian sipil yang dapat membangun kembali kepercayaan.

Pengharapan, dalam pengertian ini, bersifat politis, etis, dan sekaligus spiritual. Pada akhirnya, pengharapan mesti menjadi sesuatu yang kita lakukan—bersama sebagai bangsa yang mencari perdamaian, keadilan, dan martabat bagi semua.

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |