
KETUA Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menilai operasi tangkap tangan (OTT) di Ogan Komering Ulu (OKU) merupakan sebuah ironi. Itu karena tindakan korupsi terjadi saat pemerintah gencar melakukan efisiensi anggaran.
"Sungguh ironis artinya bahwa di saat pemerintah sedang melakukan efisiensi di berbagai bidang, berbagai sektor, tapi ada konspirasi yang dilakukan antara eksekutif dan legislatif," kata Setyo di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Minggu, 16 Maret 2025.
OTT di OKU berkaitan dengan suap pengurusan proyek pada Dinas PUPR. Para tersangka memoduskan dana pokok pikiran (pokir) untuk memperkaya diri.
"Pokir ini hanya untuk kepentingan individu saja, untuk kepentingan perorangan dan kelompoknya, mengesampingkan kebutuhan dan kepentingan dari masyarakat secara luas," ucap Setyo.
Menurut Setyo, dana pokir merupakan tindakan rasuah yang masih terjadi sampai saat ini. Semua pejabat yang masih memainkan modus kotor itu diharap berhenti.
"Oleh karena itu, sekali lagi saya ingin mengingatkan, karena pokir ini diduga jamak terjadi dilakukan praktek-praktek seperti ini di pemerintah daerah dan legislatif," ujar Setyo.
Setyo meminta rasuah berkaitan dengan dana pokir terakhir terjadi di OKU. Penangkapan kali ini diharap menimbulkan efek jera kepada semua kalangan di Indonesia.
"Ini bisa menjadi sebuah pembelajaran dan bisa menimbulkan efek jera bagi seluruh piha," kata Setyo.
KPK menetapkan enam tersangka dalam OTT ini. Mereka yakni Ferlan Juliansyah selaku Anggota Komisi III, M. Fahrudin selaku Ketua Komisi III, Umi Hartati selaku Ketua Komisi II DPRD OKU, dan Nopriansyah Kepala Dinas PUPR Kabupaten OKU, M. Fauzi alias Pablo selaku pihak swasta, dan Ahmad Sugeng Santoso selaku pihak swasta. (H-3)