
TIDAK semua orang yang berpuasa dikabulkan puasanya. Dalam pandangan fikih, puasa diartikan sebagai ibadah penting yang termasuk salah satu di antara lima Rukun Islam. Mungkin selama ini kita hanya menjalankan puasa lahiriah, tetapi belum puasa batiniah.
Puasa lahiriah sebagaimana dijelaskan di dalam kitab-kitab di dalam berbagai mazhab fikih adalah menahan diri untuk tidak melakukan 10 hal.
Kesepuluh perkara yang mengharuskan qadha (penggantian) tanpa kaffarah
(hukuman tambahan), yaitu 1) tidak makan, 2) tidak minum, 3) berhubungan suami istri saat waktu puasa, 4) menyuntikkan nutrisi ke tubuh untuk menghilangkan rasa lapar dan/atau dahaga, 5) keluarnya darah haid bagi perempuan, 6) melakukan onani yang menyebabkan keluarnya 'cairan', 7) memasukkan air ke dalam kerongkongan untuk menyegarkan diri dari rasa haus (bukan berkumur-kumur saat wudu atau bersikat gigi), 8) tetap makan, minum, atau berhubungan suami istri dengan asumsi subjektif bahwa fajar belum terbit, meskipun orang lain meyakinkannya kalau fajar sudah terbit atau ia sendiri mampu membuktikannya dengan berusaha menyaksikan fakta bahwa fajar sudah terbit, 9) menyengajakan tidur setelah bangun sekali dan belum mandi junub hingga dia bangun setelah fajar terbit, 10) dan memasukkan ke dalam mulut sesuatu yang bisa memberikan kepuasan tersendiri seperti memasukkan bubuk atau tepung yang tebal, dan/atau asap rokok ke dalam mulut.
Setelah menunaikan puasa yang bersifat lahiriah di atas, kalangan ulama sufi menyerukan untuk meneruskan puasa yang bersifat batin. Puasa batiniah diilustrasikan dengan menahan diri untuk melakukan apa yang bertentangan atau tidak sejalan dengan keridaan Allah SWT. Tidak hanya dalam bentuk pelanggaran fisik sebagaimana sering digambarkan para ulama fikih, tetapi termasuk juga hal-hal yang bersifat nonfisik seperti pikiran dan kecenderungan suara-suara hati. Karena bagi Allah SWT, baik lahir maupun batin, tidak ada yang tersembunyi.
Di samping pengendalian pikiran dan hati, juga yang amat penting bentuk konkretnya ialah menahan mulut untuk tidak berbicara, apalagi jika pembicaraan itu menjurus pada ajakan kepada diri sendiri atau orang lain untuk berpaling meninggalkan kedekatan diri dengan Tuhan.
Puasa bicara atau diam salah satu resep untuk meraih ketenangan batin yang pada akhirnya menjanjikan ketakwaan sebagaimana tujuan puasa. Resep ini diajarkan langsung oleh Allah SWT kepada Nabi Zakaria. Saat itu Nabi Zakaria dan istrinya tak pernah berhenti berdoa untuk memiliki anak, meskipun keduanya sudah berusia lanjut.
Ia bernazar, sekiranya bisa dikaruniai anak, akan berpuasa bicara selama tiga hari, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: “Zakaria berkata: ‘Ya Tuhanku, berilah aku suatu tanda’. Tuhan berfirman: ‘Tanda bagimu ialah bahwa kamu tidak dapat bercakap-cakap dengan manusia selama tiga malam, padahal kamu sehat’,” (QS Maryam/19:10).
Akhirnya doa itu dikabulkan dan Nabi Zakariya pun menunaikan nazarnya.