
KARDINAL Péter Erdo adalah anak sulung dari enam bersaudara. Ia lahir di Hungaria pada 25 Juni 1952 dan dibesarkan dalam keluarga Katolik yang taat, di mana iman menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari.
Masa kecilnya dilalui di bawah rezim komunis. Saat berusia empat tahun, keluarganya terpaksa melarikan diri hanya dengan pakaian di badan setelah rumah mereka dibakar oleh pasukan pendudukan tahun 1956.
Sejak kecil, Erdo telah merasakan berbagai bentuk diskriminasi karena imannya. Ia menempuh pendidikan di sekolah laki-laki Piaris di Budapest. Ketertarikannya pada “realitas Allah” mulai tumbuh saat menjadi putra altar, memberinya makna dan arah hidup.
Setelah melalui banyak doa dan pertimbangan, ia memutuskan masuk seminari, percaya membantu orang lain menuju keselamatan adalah panggilan hidup yang layak didedikasikan sepenuhnya.
Ditahbiskan menjadi imam tahun 1975 yang ia sebut sebagai salah satu dari tiga momen paling membahagiakan dalam hidupnya. Erdo mengabdi selama dua tahun di paroki sebelum dikirim ke Roma. Di sana, ia meraih gelar teologi dan hukum kanonik dari Universitas Kepausan Lateran (1980).
Tahun-tahun berikutnya, ia mengajar di berbagai fakultas hukum kanonik dan teologi, baik di Hungaria maupun luar negeri, termasuk Buenos Aires. Ia juga bertugas sebagai pejabat gereja dan hakim eklesiastik, sambil menulis buku panduan dan artikel tentang hukum kanonik.
Pada 1995–1996, ia menjadi peneliti di University of California, Berkeley. Erdo juga sempat menjabat sebagai rektor Kolese Hungaria di Roma dan mengajar di Universitas Gregorian serta Lateran. Paus Yohanes Paulus II mengangkatnya menjadi uskup tahun 2000. Tiga tahun kemudian Paus menunjuknya sebagai primat seluruh Hungaria dan Uskup Agung Esztergom-Budapest. Tahun itu juga, ia diangkat sebagai kardinal.
Fasih berbahasa Jerman, Italia, Prancis, Spanyol, Inggris, dan tentu saja Hungaria, Erdo terpilih sebagai ketua Konferensi Waligereja Katolik Hungaria pada 2005, serta ketua Dewan Konferensi Waligereja Eropa (CCEE). Kepercayaan dari rekan-rekan uskupnya terlihat saat ia terpilih kembali pada 2011, dan ketika ia ditunjuk membantu mengawasi Seksi Kedua Sekretariat Negara Vatikan, yang menangani urusan diplomatik.
Sejak 2003, Erdo selalu terlibat dalam Sidang Sinode Para Uskup, bahkan mendapat kehormatan dari Paus Fransiskus sebagai relator pada sinode tahun 2014 dan 2015. Ia telah menulis lebih dari 250 artikel dan 25 buku.
Ditempa dalam penderitaan rezim komunis ateis, Erdo dikenal luas sebagai intelektual ulung dan pribadi berbudaya. Ia adalah penulis produktif dan pembaca yang sangat tekun, sekaligus pengajar yang andal, pakar hukum kanonik, serta ahli Kitab Suci.
Ia telah menerima berbagai penghargaan, termasuk gelar doktor kehormatan dari Institut Catholique de Paris (1996) dan penghargaan Vox Canonica tahun 2023 bagi pakar hukum kanonik terkemuka.
Erdo menyukai liturgi pasca-Konsili Vatikan II, khususnya karena penekanan pada bacaan Perjanjian Lama. Meski lebih memilih bentuk Misa Biasa (Ordinary Form), ia tetap memberi ruang untuk bentuk Misa Luar Biasa (Extraordinary Form) bila diperlukan, walaupun ia tidak pernah berkomentar secara publik tentang Traditionis Custodes dan pembatasan Misa Latin tradisional.
Ia memandang Ekaristi dan imamat sebagai hal yang sangat berkaitan, serta menolak opsi selibat bagi imam. Sebagai pembela struktur hierarkis Gereja, Erdo adalah imam berhati pastoral yang terdorong oleh kerinduan akan keselamatan jiwa-jiwa.
Ia sangat menekankan pentingnya evangelisasi baru dan pelayanan bagi kaum muda. Misi adalah pusat pendekatannya, dan ia sangat peduli akan krisis panggilan dalam Gereja.
Selama masa kepemimpinannya, jumlah panggilan imamat di keuskupannya berfluktuasi: dari 358 imam pada 2002, meningkat hingga 443 pada 2013, lalu menurun menjadi 365 pada 2021. Jumlah biarawan pria naik sedikit, dari 173 (2002) menjadi 199 (2021), sedangkan biarawati menurun drastis dari 699 (2002) menjadi 303 (2021).
Erdo dikenal sebagai pribadi berhati-hati, cenderung menghindari risiko, bahkan terkesan pemalu. Saat diangkat menjadi kardinal oleh Paus Yohanes Paulus II tahun 2003, ia baru berusia 51 tahun, termasuk yang termuda kala itu.
Mengenai isu politik seperti imigrasi, topik hangat di Hungaria, Erdo mengambil posisi seimbang. Ia mengakui hak untuk bermigrasi namun juga menyadari risiko integrasi yang tidak terkontrol bagi stabilitas politik. Ia menekankan pentingnya menyeimbangkan solidaritas dan belas kasih.
Ia juga sangat peduli terhadap umat Kristen yang dianiaya (“Dalam diri mereka kita melihat para murid Kristus”), tetapi memiliki pandangan cukup positif terhadap Islam. Erdo juga sangat terbuka terhadap Gereja Ortodoks dan mendukung dialog lintas agama, menekankan pentingnya Dignitatis Humanae. Komitmennya terhadap persatuan dan perannya sebagai jembatan antara Timur dan Barat mengokohkan posisinya sebagai pemimpin Gereja yang penting.
Sebagian besar hidup imamatnya dihabiskan di dunia pendidikan, bidang yang sangat ia cintai. Ia kerap menekankan pentingnya memiliki relasi pribadi dengan Kristus, sesuatu yang menurutnya sangat dibutuhkan Gereja di tengah krisis akibat sekularisme dan relativisme.
Ia teguh membela hukum kodrat, dan pengalamannya hidup di bawah komunisme membuatnya menyadari bahwa hanya relasi pribadi dengan Kristus yang membawa kebebasan dan kebahagiaan sejati.
“Kalau iman adalah hal terpenting dalam hidup, maka melayani iman orang lain, mewariskan iman, mengajarkan iman, dan terutama melayani dalam liturgi adalah hal paling agung dalam hidup,” ujarnya pada Agustus 2024.
Erdo juga menuturkan membantu orang lain mencapai keselamatan adalah tugas yang sangat penting dan membawa manfaat besar. “Itulah motivasi utama yang saya rasakan bahkan sejak kecil,” katanya. “Dan karena itulah, saya akhirnya memutuskan untuk masuk seminari,” lanjutnya.
Erdo menolak paham universalisme, gagasan bahwa semua orang pasti diselamatkan namun ia percaya bahwa semua bisa diselamatkan. Pada akhirnya, hanya melalui Yesus Kristus, katanya, umat manusia dapat menemukan jalan menuju Allah.
Ia mendukung pendampingan pastoral bagi umat Katolik yang telah bercerai lalu menikah lagi secara sipil, namun ia menegaskan bahwa pendampingan itu hanya bisa diberikan jika orang tersebut sepenuhnya memahami dan menerima ajaran Gereja bahwa sakramen pernikahan tidak bisa diputuskan atau dibatalkan begitu saja artinya, pernikahan Katolik tetap bersifat sakral dan tak terceraikan.
Erd? tegas menolak pengakuan terhadap pasangan sesama jenis, namun mendukung pendampingan pastoral bagi mereka yang mengalami ketertarikan sesama jenis. Ia teguh mendukung ajaran Humanae Vitae, berpandangan pro-life, dan memiliki devosi yang kuat kepada Bunda Maria.
Sebagai pengagum Paus Paulus VI, Erdo juga merupakan salah satu tokoh favorit almarhum Kardinal George Pell, yang melihatnya sebagai kandidat layak penerus Santo Petrus, sosok yang dapat mengembalikan supremasi hukum di Vatikan setelah masa kepemimpinan Paus Fransiskus. (collegeofcardinalsreport/Z-2)