ITL Trisakti Kaji Dampak Pembatasan Operasional Truk ODOL terhadap BOK

1 week ago 17
ITL Trisakti Kaji Dampak Pembatasan Operasional Truk ODOL terhadap BOK Ilustrasi--Petugas gabungan melakukan operasi penerapan jam operasional truk tanah di Benda, Kota Tangerang, Banten.(ANTARA/Fauzan)

HASIL kajian yang dilakukan Institut Transportasi dan Logistik (ITL) Trisakti menunjukkan adanya dampak dari pembatasan operasional truk Over Dimension Overload (ODOL) terhadap Biaya Operasional Kendaraan (BOK) yang dikeluarkan operator angkutan. Hal itu disebabkan adanya penambahan truk yang harus disediakan akibat terjadinya pengurangan jam operasi. 

Hal itu disampaikan Ade Surya, Pakar Transportasi yang juga Kepala Lembaga Pengembangan Transportasi dan Logistik ITL Trisakti, baru-baru ini. 

Dia mengatakan temuan penambahan BOK itu dilakukan ketika Gubernur Jambi mengeluarkan instruksi yang hanya memperbolehkan truk-truk ODOL beroperasinya di malam hari. 

“Kami melakukan kajian terhadap truk-truk pengangkut batubara dari Jambi ke pelabuhan Teluk Bayur,” ujarnya.

Dia menuturkan adanya pembatasan operasional truk ODOL pengangkut batu bara itu mengakibatkan terjadinya kenaikan BOK yang disebabkan adanya penambahan jumlah truk. 

Hal itu disebabkan mereka itu memang sudah lama menggunakan truk dan kendaraan muatan 30 ton. Dengan adanya pembatasan, mereka akhirnya tidak bisa beroperasi 24 jam. 

“Jadi, kalau mau sustain dan suplainya itu aman, mereka harus nambah armada untuk kegiatan pengangkutan tambang di malam hari. Akibatnya, ritasenya harus bertambah dan mereka harus menambah armadanya juga,” katanya.

Dalam ilmu transportasi, menurut Ade, kalau muatannya banyak dan beroperasinya 24 jam, harga rupiah per tonnya pasti murah. Tapi, ketika misalnya jam operasinya dikurangi, itu harga rupiah per tonnya akan naik. Begitu juga kalau muatannya muatannya dikurangi. 

“Dengan dilakukan pembatasan operasional saja sudah berdampak terhadap BOK, apalagi jika Zero ODOL ujug-ujug mau diberlakukan begitu saja tanpa melihat dampaknya terhadap BOK. Ini bisa menjadi masalah baru di kalangan pelaku usaha,” ungkapnya.  

Menurutnya, hal yang sama juga terjadi untuk angkutan barang lainnya seperti makanan dan minuman. Dia mencontohkan kendaraan angkutan Indomie. 

Dari hasil penelitian yang dilakukan, dia menuturkan pengurangan muatan telah menyebabkan terjadinya kenaikan BOK.  

“Yang pernah saya teliti di Bogasari itu biaya untuk ngirim Indomie di pulau Jawa itu 59-100 rupiah per pieces per produk. Nah, kalau misalnya tadi ada yang enggak boleh ngirim dengan kapasitas tertentu, terjadi kenaikan BOK menjadi 70 rupiah,” tukasnya.

Dampaknya, lanjut Ade, harga jual ke konsumen juga mengalami kenaikan. Yang tadinya misalnya harga Indomie itu Rp2.500 per bungkus ke konsumen, tapi karena ada kenaikan BOK, harganya bisa naik menjadi Rp 2.600. “Ini kan bisa memicu terjadinya inflasi juga,” ujarnya. 

Dari hasil penelitian ini, Ade pun menyarankan agar penyelesaian masalah ODOL harus dilihat dari dua sisi yaitu keselamatan dan ekonomi. Artinya, tidak boleh ada perlakuan mengutamakan yang satu dan mengorbankan yang lain. 

“Jadi, harus ada titik tengah yang harus diambil dalam menyelesaikannya,” tukasnya. 

Dia mengutarakan penyelesaian masalah ODOL ini sangat penting untuk menunjang logistik. Sebab, lanjutnya, kalau logistiknya baik, cost logistik atau harga di tingkat konsumen juga rendah. 

“Jadi, pemberlakuan Zero ODOL itu nantinya juga harus memikirkan agar tidak menyebabkan beban bagi masyarakat konsumen dengan terjadinya kenaikan harga barang-barang akibat biaya logistik yang naik,” tukasnya. 

Karena, lanjutnya, penelitian membuktikan dengan diberlakukannya Zero ODOL, mau tidak mau pasti akan ada penambahan biaya bagi pemilik barang karena jumlah truk yang digunakan juga pasti bertambah. Itu berarti akan ada penambahan biaya  ongkos logistik yang pasti dibebankannya kepada konsumen. 

“Sebab, bagi pemilik truk dan pemilik barang sebetulnya tidak masalah jika harus menggunakan truk ODOL atau Zero ODOL. Yang berdampak itu konsumen yang harus menanggung kenaikan biaya logistiknya,” tukasnya. 

Karenanya, untuk menghindari adanya kenaikan logistik akibat penerapan Zero ODOL itu, dia menyarankan agar pemerintah memberikan beberapa insentif. 

“Itu perlu dipikirkan pemerintah bagaimana mendorong cost logistik tetap rendah agar tidak ada keributan-keributan yang terjadi saat memberlakukan Zero ODOL ini,” ucapnya.

Dia juga mendorong pemerintah agar lebih mengoptimalkan moda transportasi kereta api dan tol laut. Menurutnya, trucking itu tidak cocok untuk jarak jauh, dan sewajarnya hanya sampai jarak 100 kilometer saja. Kalau lebih dari itu, barang-barang di truk itu harus pindah ke moda lain yang lebih efisien. 

“Karenanya, pemerintah perlu memikirkan infrastruktur jalannya dan moda transportasinya, bagaimana handlingnya agar itu bisa dilakukan dan terintegrasi dengan baik tanpa menambah biaya logistik,” tukasnya.

Jadi, menurutnya, yang dibutuhkan dalam menyelesaikan masalah ODOL ini adalah perencanaannya dan bukan hanya penindakan seperti yang dilakukan selama ini. 

“Padahal, sebelum menindak itu seharusnya terlebih dulu dilakukan perencanaan yang dituangkan dalam sebuah blueprint,” pungkasnya. (Z-1)

Read Entire Article
Tekno | Hukum | | |